Minggu, 17 Maret 2013

Books and Camera... (part 4)


                “Saara, kenapa kau lama di atas?” tanya Sebastian, adik laki-lakiku. “Untung saja pancake lezat buatan Selma belum jadi. Kalau sudah, kau tidak akan dapat bagian.”
                Aku tersenyum. “Aku beruntung, bukan?”
                “Yah, kau beruntung. Tapi aku tidak,” Sebastian mendesah. “Ayo, ke dapur! Pasti pancake buatan Selma sudah jadi!”
                Aku mengangguk dan mengikutinya ke dapur.
                “Hai, Saara! Hai, Sebastian!” sapa Selma. “Kalian datang tepat waktu! Pancake ini baru saja jadi!”
                “Nah, benar apa kataku!” Sebastian berseru senang. Ia duduk di kursi. “Ayo suguhkan, Sel! Aku sudah sangat lapar sejak bangun tadi.”
                “Kau memang selalu lapar,” Selma memotong pancake dan memotongnya di piring. “Dan, oh! Jangan memanggilku ‘Sel’! Kau tahu aku benci itu.”
                “Baiklah, El,” balas Sebastian.
                Aku tertawa kecil. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi nyaring. Argh! Aku lupa mengaktifkan mode silent! aku mengeluh dalam hati.
                Handphone-mu bunyi, Saara?” tanya Selma. “Dari siapa?”
                “Saara tidak bilang pada kita, El,” Sebastian menatapku penuh arti. “Jadi berceritalah.”
                Aku menatap mereka tajam. “Dengar ya, satu, handphone-ku memang berbunyi. Dua, itu dari temanku. Tiga, memang apa yang harus kukatakan pada kalian? Empat, tidak ada cerita yang begitu penting untuk diceritakan.”
                “Oh, Bas,” Selma menatap Sebastian. “Dia marah.”
                “Diam kalian berdua,” seruku. Mereka berdua langsung diam dan terlarut dalam lezatnya pancake mereka. Aku menghela napas lalu membaca pesan yang masuk.

From: Iiro
24/11/2011 05:48

Kau sudah di sekolah?

                Astaga, desahku. Aku mulai mengetik untuk membalas pesannya.

To: Iiro

Sepagi ini? Yang benar saja!

                Selesai membalas, aku kembali menyantap pancake-ku. Benar kata Sebastian, pancake yang dibuat Selma memang enak sekali. Jarang-jarang Selma memasak. Biasanya setiap pagi akulah yang memasak sarapan.
                Handphone-ku berbunyi lagi.

From: Iiro
24/11/2011 05:50

Memang aku bercanda? Aku sudah di ruang mading. Kalau kau sudah sampai beritahu aku ya!

To: Iiro

Memang kau siapa? Ah, baiklah nanti kukabari

                “Ar,” panggil Sebastian. “Siapa itu? Aku dengar pagi tadi, handphone-mu berbunyi sekitar... lima kali! Kau sedang saling kirim pesan dengan siapa?”
                “Aku sudah bilang kalau dia temanku,” jawabku.
                “Tapi kenapa sibuk sekali?” tanya Selma.
                “Hari ini ada inspeksi di sekolah, jadi kami harus berpakaian rapi, bersih, dan sesuai tim masing-masing. Kami berada di tim mading dan sekarang sedang berdiskusi soal kartu pengenal,” jawabku setengah berbohong. Hari ini memang akan ada inspeksi, tapi aku tidak sedang berdiskusi soal kartu pengenal dengan Iiro.
                “Ooh,” Selma manggut-manggut. “Omong-omong, Ar, kau tidak pandai berbohong.”
                Aku mengangkat alis.
                “Maksud Selma, kelihatan sekali kau berbohong tadi,” sela Sebastian. “Matamu tidak bisa menipu, tahu? Jadi katakan saja yang sebenarnya.”
                Aku mendesah. “Ok, temanku bertanya padaku apa aku sudah tiba di sekolah. Lalu dia minta agar aku mengabarinya ketika aku sudah sampai.”
                “Memang dia siapa? Kenapa dia harus tahu kau sudah sampai?” tanya Selma.
                “Ya, kenapa?” tanya Sebastian.
                “Astaga, adik-adikku, tidak semua hal harus kalian ketahui. Nah, aku harus berangkat sekarang. Jangan sampai kalian terlambat sekolah, ya! Bye!”
                Tiba-tiba handphone-ku berbunyi lagi.

From: Iiro
24/11/2011 05:54

Aku iiro dan aku yakin aku sudah memberitahumu

*

From: Iiro
24/11/2011 06:17

Kau dimana? Lama sekali

To: Iiro

Sabar, aku baru menaiki tangga

                Aku mendesah keras. Pukul enam. Di sekolah yang belnya baru berbunyi pukul delapan. Apa maksud Iiro menyuruhku datang sepagi ini ke ruang mading?
                Aku memasuki ruang Journalist Team. Sepi. Tidak ada orang di dalam. Kemudian aku memasuki ruang mading. Tidak ada orang juga di dalam. Iiro, dimana kau? pikirku setengah kesal.
                Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku terkejut tapi berusaha untuk tidak berteriak. Kemudian aku menoleh. Iiro.
                “Ah, kau, kukira siapa,” aku menghembuskan napas lega. “Aku ingin lihat kameramu, boleh?”
                “Cuma lihat kamera?” dia menahan tawa.
                Aku menghembuskan napas keras. “Ok, ok, lihat hasil fotomu di Ruka.”
                Dia mengangguk lalu memberikan kameranya. Aku mengambil kameranya dan mulai memainkan jari-jariku di atas tombolnya.
                Iiro duduk di sebelahku dan ikut melihat hasil potretnya. Ada foto Ruka Village, foto sebuah cottage di Ruka, foto Rukantuturi, pemandangan dari Rukantuturi, dan banyak lagi. Semua foto itu terlihat menakjubkan di mataku. Tapi sepertinya tidak bagi orang yang duduk di sampingku.
                “Bagus sekali,” pujiku sambil memberikan kembali kamera itu pada Iiro. “Aku paling suka foto pemandangan dari Rukantuturi. Hei, aku boleh minta fotonya?”
                Iiro mengerutkan dahi. “Untuk apa?”
                “Untuk apa lagi? Tentu saja untuk kupajang di kamar. Mungkin juga akan kujadikan wallpaper di komputer, laptop, atau handphone,” jawabku sambil tertawa kecil.
                “Astaga, serius?” Iiro melotot. “Foto seperti ini? Yang benar saja.”
                “Aku serius,” aku tertawa kecil. “Boleh?”
                Iiro menggeleng. “Jelek,” katanya.
                “Ayolah,” bujukku. “Kalau kubilang itu jelek tidak akan kuminta. Jadi... boleh, ya? Aku tidak akan bilang siapa-siapa.”
                Iiro diam.
                “Iiro?”
                Dia menoleh.
                “Boleh, ya?” tanyaku sedikit memaksa. “Aku janji tidak akan bilang siapa-siapa.”
                Dia menggeleng lagi.
                “Kenapa tidak?” aku mendesah. “Ayolah.”
                Dia menggeleng. “Jelek.”
                “Terserah, deh,” aku menyerah. “Oya, tapi foto yang kau bilang jelek itu nanti akan dipajang di mading, kan? Jadi orang-orang akan tetap melihatnya.”
                Iiro diam. Aku meraih handphone-ku. Rupanya ada satu pesan.

From: Selma
24/11/2011 06:21

Ar, bas diare. Aku dan dia tidak ke sekolah hari ini. Jika sudah selesai sekolah cepat pulang

                Aku melihat jam. 06:30. Oh, tidak. Aku terlambat membalas.

To: Selma

Maaf baru membalas pesanmu. Aku akan pulang cepat

                Selesai membalas pesan Selma, aku berdiri lalu duduk di meja editor. Sudah ada dua artikel yang menunggu di-edit. Artikel dari Juho dan Eveliina. Aku menghembuskan napas panjang. Dua tugas sudah menanti. Lebih baik kukerjakan secepatnya.
                “Kalau begitu boleh,” ucap Iiro. “Tapi jangan bilang siapa-siapa.”
                Aku menoleh lalu tersenyum. “Setuju,” balasku. “Kalau begitu aku pinjam dulu memory card kameramu, nanti kukembalikan setelah—“
                “Olga akan memilih fotonya hari ini,” potong Iiro.
                “Ah,” balasku. “Kalau begitu kirim saja lewat e-mail, bagaimana?”
                Iiro mengangguk. Ia mengambil secarik kertas dari saku celananya. “Pulpen?”
                Aku mengaduk-aduk tasku dan menemukan sebuah pulpen. Tampaknya itu milik Selma. Tapi berhubung aku tidak menemukan pulpen lain, aku memakai pulpen itu. “Ini.”
                “Tulis e-mail,” ujarnya singkat.
                Aku mengangguk dan menulis alamat e-mail-ku di kertas itu. “Ini. Jangan beritahu orang lain, ya. Aku tidak mau e-mail-ku diketahui orang banyak.”
                Iiro mengangguk lalu mengambil kertas itu.

*

Minggu, 03 Maret 2013

The Diary (part 4)


                Ah, desahku. Untuk kali ini saja, aku harap aku bukan Danny...

*

From: Giena
15/8/2010 14:38

Aku sudah selesai mengisinya, hanya dua paragraf. Kau mau mengisinya seberapa panjang?

                Aku membelalak membaca pesan itu. HANYA dua paragraf?? Astaga, untuk seorang juara kelas sepertinya dua paragraf memang cocok disebut sebagai hanya. Tapi untukku? Satu paragraf saja sudah kusebut banyak. Astaga...

To: Giena

Astaga kau serius? Aku bahkan belum tentu mengisinya satu paragraf

                Setelah menekan tombol send, aku duduk dan berpikir. Begini, mari kita luruskan. Aku, dipasangkan dengan Giena, si kutu buku dan juara kelas. Aku? Pemain basket dan futsal terbaik di sekolah juga ahli gitar dan menyanyi. Kelihatannya cocok, tidak?
                Tidak.
                Ada lagi, tema buku harian itu “orang yang disuka”. Begini saja, aku hampir lulus dari SMP. Sejak dulu, aku hanya sekedar mengagumi seseorang, bahkan tidak sampai memuja-mujanya dan memintanya menjadi pacarku. Hahaha, begini, aku belum pernah menyukai seseorang secara serius. Tentu saja mustahil belum pernah menyukai orang, yang benar adalah aku belum pernah menyukai seseorang secara serius.
                Sampai sekarang.
                Sampai detik ini.
                Bagaimana dengan detik ini?
                Tidak juga.
                Intinya, aku... entahlah, aku tidak begitu mengerti. Aku tahu aku sudah siap menyukai seseorang dengan serius, tapi aku belum bisa. Tidak ada yang membuatku tertarik. Apa standarku yang terlalu tinggi? Kurasa tidak.
                Anton, El, dan Tirta selalu mengabariku jika ada perempuan yang tertarik padaku. Aku hanya menanggapinya dengan tawa atau ejekan. Aku tidak pernah menganggap itu serius walau aku tahu mereka tidak bohong. Dan perempuan-perempuan itu punya popularitas yang cukup tinggi, misalkan saja, Emily si kapten cheers. Tinggi, cantik, dan populer. Siapa yang menolak? Hanya orang bodoh yang akan menolaknya. Dan orang bodoh itu adalah aku. Tapi aku tidak peduli. Aku memang tidak menyukainya dan tidak akan menyukainya walau dia memohon-mohon padaku. Jahat? Ya, aku memang jahat.
                Lalu yang berikutnya, Farida, anak kepala sekolah. Semua murid mengenal dan menghormati Farida. Suatu kehormatan besar bagi mereka bisa berteman dengan Farida atau setidaknya bisa disapa olehnya. Dan waktu itu tiba-tiba Anton bilang dia suka padaku. Aku hanya mengangguk singkat dan kembali menyimak lagu yang sedang kudengar. Aku tahu Farida pintar, cantik, ramah, dan tidak sombong, tapi aku tidak suka padanya. Secantik dan seramah apa pun dia, aku tidak suka. Aku tidak pernah suka seseorang karena kelebihannya, tapi aku pernah kagum karena kelebihannya. Dan kalau boleh jujur, aku kagum pada Farida karena dia bisa ramah pada siapa pun.
                Berikutnya? Liza, anak sekelasku yang jelas-jelas menunjukkan rasa sukanya secara frontal. Ia selalu memberiku sandwich setiap waktu istirahat. Aku tidak protes karena dengan sandwich itu aku bisa menghemat uang jajanku. Dia juga selalu membantuku mengerjakan tugas walau aku tahu dia juga tidak bisa. Dia selalu mendukungku ketika pertandingan. Hanya aku, tidak yang lain. Oh, satu lagi, El pernah bilang bahwa Liza menempeli stiker di setiap buku pelajarannya. Tulisannya: Danny. Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Mungkin dia hanya mengagumiku. Lagipula, aku tidak suka padanya. Dia terlalu... agresif dan berlebihan. Yah...
                Selanjutnya? Aku bisa memberimu puluhan nama tapi aku malas menjabarkannya. Baik, kembali ke cerita.
                Handphone-ku kembali berbunyi.

From: Giena
15/8/2010 15:07

Terserah saja, besok akan kuberikan

                Aku mengangkat bahu lalu menaruh handphone-ku di atas meja. Aku membaringkan tubuhku di kasur. Mencoba istirahat. Aku merasa lelah sekali hari ini.
                Oh, tunggu, satu penjelasan lagi.
                Gadis ini, Giena, aku sudah mengenalnya sejak... entah sejak kapan aku mengenalnya, aku sendiri tidak ingat. Tapi kami benar-benar memiliki kepribadian yang berbeda. Aku menyukai hal-hal yang berhubungan dengan fisik dan perasaan. Olahraga dan musik. Keduanya kukuasai dengan baik. Aku juga populer di sekolah karena kedua hal itu. Tapi lain halnya dengan Giena.
                Giena ini sudah pintar sejak masih SD. Dia peraih NEM SD tertinggi di angkatan kami. Dia juga selalu menyabot gelar juara kelas tiap semester. Bahkan juara umum! Dia juga populer di sekolah. Kenapa? Karena sejak kelas tujuh dia selalu menyumbang piala juara satu untuk berbagai macam bidang pelajaran, kecuali olahraga. Total kurang lebih ada lima puluh piala yang ia sumbangkan. Bahkan ia pernah mengikuti olimpiade sains se-Indonesia dan keluar sebagai juara kedua. Jelas-jelas dia pintar, oh, bukan pintar, jenius. Ya, itu kata yang tepat untuknya.
                Oke, saatnya berhenti meratapi apa yang sudah terjadi. Aku akan berusaha. Berusaha untuk tidak mengeluh karena menjadi teman kelompok orang paling pintar sesekolah.
                Huft.

*

Travel Writer (part 3)


                “Hei.”
                Venla menoleh. “Hei juga,” balasnya dengan senyum ketika melihat Kevin berdiri di sampingnya. “Duduk di sini,” Venla menepuk tempat di sampingnya.
                Kevin mengangguk lalu duduk di samping Venla. “Kau sedang apa?”
                “Merapikan notulen hasil rapat kemarin,” jawab Venla sambil terus menulis. “Sekarang aku sekretaris OSIS, jadi ini tugasku.”
                “Kenapa tidak mengundurkan diri?” tanya Kevin.
                “Mm...,” Venla bergumam. “Tidak, kurasa tidak. Aku masih ingin jadi pengurus OSIS.”
                “Oh,” Kevin manggut-manggut. “Tapi kau tahu sebentar lagi kita kelas tiga, kenapa....”
                “Aku tahu, aku tahu,” potong Venla sambil menatap Kevin tajam. “Aku hanya masih ingin jadi pengurus. Berhenti menanyaiku, Kevin.”
                Kevin terdiam. Dia heran karena sebelumnya Venla tidak pernah memerintahnya dengan kasar dengan tatapan tajam. Dan sekarang gadis itu melakukannya. Apa maksudnya?
                Venla kembali menulis. Kevin menghela nafas lalu mengambil secarik kertas dari saku celananya. Ia meraih pensil dan menulis sesuatu di kertas tersebut. Setelah selesai, dia membungkus sesuatu dengan kertas tersebut dan menaruhnya di samping Venla. Sesudah itu, Kevin meninggalkan Venla yang tidak menyadari keberadaan kertas itu di sampingnya.
                Venla baru sadar Kevin pergi ketika ia sudah menyelesaikan notulen hasil rapatnya. Ketika ia melirik ke samping, ia menemukan secarik kertas yang bertuliskan “Untuk Venla”. Ia mengambilnya dan menatap bungkusan itu dengan penuh rasa heran.

*

                “Kau serius, Olivia?!”
                Serius,” jawab Olivia di ujung sana. “Dia sekarang ada di ruang operasi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebaiknya kau ke sini, Venla.
                “Untuk apa aku ke sana?” tanya Venla sambil mengerutkan kening. “Hanya memperburuk keadaan.”
                Bahkan setelah dua tahun lebih kau mengenalnya kau tidak juga menyadarinya?” Olivia mendesah. “Oh, ayolah, kalau kau kenal dengan Kevin jadi kau pasti tahu. Sekarang lebih baik kau ke rumah sakit ini, cepat atau kau akan terlambat.
                “Baiklah,” balas Venla buru-buru. “Tunggu aku... 20 menit lagi.”
                Venla segera menutup teleponnya dan bergegas mengambil kunci mobil, dompet, ponsel, sebuah gantungan kunci serta kunci flat-nya. Setelah memasukkan semuanya ke dalam tas kecil, ia segera keluar dari flat-nya dan berlari menuju mobilnya.
                Setelah mesin mobilnya menyala, Venla segera berangkat ke rumah sakit yang ada di pusat kota. Olivia mengabarinya bahwa Kevin dirawat di sana. Jujur saja, belakangan ini Kevin berlaku aneh. Dia agak pendiam dan wajahnya selalu terlihat pucat. Aktivitas yang dilakukan Kevin tidak terlalu berat, sama saja seperti biasa, kuliah di pagi hari dan pulang siang harinya. Sampai di rumah ia akan mengerjakan tugas dari bosnya lalu pergi tidur di malam hari. Rutinitas itu tidak akan menguras energi yang terlalu banyak, kecuali kalau Kevin makan hanya sedikit. Tapi Venla tahu Kevin selalu makan banyak dan teratur. Kevin juga rajin cek ke dokter dan selalu meminum vitaminnya. Istirahatnya juga cukup. Tapi kenapa Venla menerima kabar bahwa Kevin dioperasi?
                Sesampainya di rumah sakit, Venla memarkir mobilnya di luar dan ia segera berlari masuk ke dalam rumah sakit. Ketika melihat sosok Olivia sedang duduk terpekur, hatinya langsung diselimuti rasa lega. Ia menghampiri temannya itu dan duduk di sampingnya.
                “Venla?” Olivia kelihatan bingung. “Cepat sekali kau datang, katamu tadi 20 menit?”
                “Memangnya berapa menit?” tanya Venla heran.
                “Hanya 10 menit,” jawab Olivia sambil memperlihatkan jam tangannya.
                “Bagaimana keadaan Kevin?” tanya Venla tanpa menghiraukan jawaban Olivia.
                “Sama sekali tidak baik,” Olivia menggeleng. “Aku sendiri tidak mengerti kenapa, padahal Kevin tidak pernah bolos makan dan rajin ke dokter. Waktu istirahatnya juga cukup.”
                Venla mengangguk tanpa menoleh ke arah Olivia. Matanya sibuk menatap pintu ruang operasi yang masih tertutup. Ia berharap pintu itu segera terbuka dan seorang dokter mengabarkan bahwa Kevin tidak apa-apa. Itu yang diharapkan Venla. Tapi ia sendiri tidak yakin karena perasaannya tidak enak sejak ia meninggalkan flat-nya.
                Tiba-tiba pintu menjeblak terbuka lalu seorang dokter berjas putih yang memakai kacamata menghampiri Venla dan Olivia. Ia bertanya, “Apa kalian keluarga saudara Kevin?”
                Olivia berdiri. “Aku adiknya. Bagaimana keadaan Kevin?”
                Satu hal, Olivia adalah saudara kembar Kevin. Olivia lahir sepuluh menit setelah Kevin. Walau kembar, wajah mereka sama sekali tidak sama. Hal yang sama dari mereka adalah cara bicara, gaya jalan, cara berpikir, serta warna mata. Tapi perbedaan itu tidak menjauhkan mereka. Malah membuat mereka semakin dekat.
                “Saudara Kevin baru saja selesai menjalani operasi pengangkatan, kami harap sebentar lagi dia akan sadar,” jawab dokter tersebut.
                “Operasi pengangkatan?” tanya Olivia dan Venla bersamaan.
                “Pengangkatan tumor tentu saja, kalian tidak tahu?” dokter tersebut kebingungan. “Ada tumor di otaknya.”
                Venla dan Olivia saling bertatapan. Mereka berdua sama sekali tidak mengetahui soal tumor yang diderita Kevin. Kevin punya tumor? batin Venla heran.
                “Saudara Kevin tidak pernah memberitahu kalian?” Venla dan Olivia serempak menggeleng.
                Dokter mendesah pelan. “Saya rasa... anda berdua harus masuk ke dalam.”
                Venla dan Olivia mengikuti sang dokter masuk ke dalam ruang operasi. Kondisi Kevin tampak amat menghawatirkan. Badannya terkulai lemah di kasur. Matanya terpejam. Tampaknya masih belum sadar.
                “Saya akan meninggalkan kalian berdua di sini,” ucap dokter tadi. “Silakan tekan tombol merah yang ada di dinding jika perlu atau terjadi sesuatu. Selamat siang.”
                Selama beberapa saat keheningan menyelimuti ruangan tersebut. Venla hanya duduk sambil menatap tubuh Kevin yang terbaring di kasur. Sementara Olivia sedang berpikir keras di tempat duduknya. Olivia kelihatan gelisah. Ia terus mengubah posisi duduknya selama beberapa menit.
                “Apa yang kaupikirkan?” tanya Venla.
                “Hah?” Olivia tampak kebingungan.
                “Kau kelihatan gelisah, ada apa?”
                “Tidak, hanya saja...,” Olivia menarik nafas. “Aku bingung bagaimana cara menyampaikan hal ini pada orang tua kami. Kau tahu kan, mereka harus diberitahu.”
                Venla hanya mengangguk lalu kembali menatap Kevin. Tiba-tiba saja ia melihat kelopak mata Kevin bergerak. Mungkin hanya perasaanku, pikirnya setengah tidak yakin. Tapi sesaat kemudian Kevin membuka mata dan menatap sekeliling. Matanya menjelajahi ruangan. Setelah itu ia menatap Venla yang duduk di sampingnya dan bertanya, “Venla? Sedang apa kau di sini?”
                “Menjengukmu, kau baru saja selesai operasi,” jawab Venla sambil menekan tombol merah yang ada di dinding sesuai petunjuk dokter tadi. “Operasi pengangkatan tumor, bagaimana keadaanmu sekarang? Lebih baik?”
                Mata Kevin membelalak. “Darimana kau tahu aku punya tumor?”
                “Dokter memberitahuku dan Olivia tadi,” jawab Venla. “Kenapa kau tidak pernah bilang?”
                “Tidak semua harus kuberitahu,” balas Kevin. “Aku tahu kau temanku yang paling kupercaya, tapi aku tidak mau menambah beban pikiranmu. Hanya Lucas yang tahu tentang ini.”
                “Kev,” sela Olivia. “Seharusnya kau memberitahu aku serta ayah-ibu. Mereka sangat panik ketika kukabari kau sedang menjalani operasi. Kau mau membuat mereka tambah khawatir? Mereka kaget karena selama ini mereka tidak tahu kau menderita tumor. Kau masih sayang pada mereka atau tidak?!”
                “Olivia!” Venla berdiri lalu mengelus punggung Olivia perlahan-lahan. “Sabar, kau tidak berhak menuduh Kevin seperti itu.”
                “Aku hanya tidak ingin menambah kesedihan mereka,” tegas Kevin. “Mereka sudah cukup sedih karena selama ini....”
                Pintu menjeblak terbuka. Dokter masuk bersama beberapa perawat dan menyuruh Venla serta Olivia keluar dulu dari ruangan. Venla menurut dan mengajak Olivia keluar.
                Di luar, Olivia menangis tersedu-sedu. Ia berkata bahwa ia tidak bermaksud menuduh Kevin sekejam itu. Ia hanya tidak dapat mengontrol kata-kata yang keluar dari mulutnya. Venla hanya mengangguk sambil terus menenangkan sahabatnya itu.

*

Rabu, 20 Februari 2013

Sinopsis "When The Planet Blows Up"


Di dalam Galaksi Bimasakti, ada satu planet yang ditinggali ribuan makhluk. Makhluk itu disebut modra. Flavy adalah salah satu modra yang tinggal di planet itu. Nama planet itu Lorra. Modra hidup bahagia selama ribuan tahun. Suatu hari, para ilmuwan mengabarkan bahwa Lorra sedang menuju kehancurannya!
Flavy dan keempat temannya, Purpo, Iger, Frax, dan Ruber, pergi ke Bumi untuk melakukan penelitian demi menyelamatkan Lorra. Setelah enam bulan di Bumi, mereka menerima kabar yang sangat buruk. Lorra benar-benar akan hancur dalam hitungan hari!

Dengan segala daya dan upaya, mereka berusaha menyelamatkan orang-orang yang mereka kasihi. Akankah mereka berhasil? Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Baca kisahnya dalam buku ini...

Minggu, 10 Februari 2013

Luna's Diary (part 3)


                Aku dan Florrie sampai di kelas tepat saat bel berbunyi. Dengan langkah cepat aku segera mencari meja yang bertuliskan namaku di atasnya. Dan aku belum menemukannya. Padahal aku sudah mencari di 10 meja—ada 15 meja di setiap kelas, satu meja untuk dua orang—tapi namaku belum terlihat. Sisa dua meja lagi. Aku melihat huruf ‘L’ dan ‘U’ di sebuah meja yang sisi kanannya sudah ditempati seorang anak laki-laki yang kelihatannya sedang tidur. Aku mendekat dan membaca tulisan di meja itu. Luna Greyson. Ah, ini memang tempatku.
                “Permisi,” ucapku pada anak laki-laki yang kelihatan sedang tidur itu. “Bisakah kau bergeser? Ini tempatku.”
                Anak laki-laki itu terbangun dan menatapku. Oh, rupanya itu Will. William Stiefel. Dia anak paling pintar di kelas—atau mungkin di angkatan ini—dan dia termasuk tipe orang yang pendiam. Dia tidak banyak tingkah dan selama ini yang kutahu nilai attitude-nya selalu masuk kategori excellent.
                “Ah?” Will menatap tulisan nama di depannya. “Oh, ya, ini tempatmu. Maaf, maaf, aku akan bergeser.”
                Aku menunggu Will menggeser badannya, kemudian aku duduk dan mengeluarkan alat tulisku dari tas. Setelah itu, aku keluar dari kelas untuk menaruh tasku di loker. Loker kami memang ditaruh di luar kelas, tapi loker kami selalu dalam keadaan terkunci. Lagipula principal tidak mengizinkan kami menaruh barang berharga di dalamnya. Yah, seaman-amannya lingkungan sekolah ini, tetap saja ada titik lemahnya. Tapi aku memang tidak pernah menaruh barang berharga di dalam loker. Aku pasti menaruh dompet, ponsel, atau barang berharga lainnya di tas pinggang yang selalu kubawa kemana-mana. Ini kebiasaan sejak kecil yang akhirnya terbawa sampai sekarang.
                “Apa mata pelajaran pertama?” tanyaku pada Will ketika aku baru saja duduk di kursi setelah menaruh tas di loker.
                Will membuka jurnalnya lalu berkata, “Science.”
                Aku manggut-manggut. “Lalu hari ini kita akan belajar tentang apa? Oh, apakah ujian atau pelajaran biasa?”
                “Mm... aku tidak tahu.” Will mengangkat bahu. “Mr. Hopwood tidak bilang apa-apa waktu itu. Yang jelas sudah tidak ada materi baru untuk semester ini.”
                “Syukurlah.” Aku menghembuskan nafas lega.
                Oya, sedikit penjelasan mengenai Will. Kenapa aku bertanya terus padanya? Hanya ada satu alasan. Selain murid terpintar di kelas, Will merangkap sebagai ketua kelas di kelas kami, kelas 2-1. Para guru selalu mengabari Will tentang ujian, informasi-informasi penting, dan sebagainya. Wali kelas kami, Ms. Harlow, menunjuk Will sebagai ketua kelas karena Will adalah satu-satunya murid laki-laki yang dapat dipercaya di kelas ini. Aku sebenarnya setuju-setuju saja karena sama seperti Ms. Harlow, aku tidak bisa memercayai murid laki-laki yang lain.
                Seseorang menepuk pundakku dan tepukan itu mengembalikan kesadaranku.
                “Luna, kau melamun, ya?” ujar suara itu. “Aku sudah memanggilmu tiga kali tapi kau tidak menyahut juga.”
                Aku tahu itu bukan suara Will. Aku menoleh dan menemukan sosok Florrie sedang menatapku dengan wajah heran bercampur bingung. Aku tertegun sejenak. Tiba-tiba Florrie berkata lagi, “Kenapa menatapku seperti itu?”
                “Tidak, hanya... bingung.” Aku mengangkat bahu lalu kembali menghadap depan.
                “Hei, Luna, kau tahu tidak?”
                “Apa?” balasku tanpa menoleh.
                “Aku duduk di belakangmu!”
                “Lalu kenapa?”
                “Aku hanya memberitahu,” Florrie terus berceloteh dengan riang. “Jadi selama pelajaran, aku bisa bertanya padamu kalau aku tidak bisa mengerjakannya. Dan aku juga bisa memanggilmu kapan saja aku mau. Dan aku juga bisa mengerjaimu kapan saja!”
                “Oh.”
                “Ah, kau tidak menanggapiku.” Florrie mendesah lalu menopang dagunya. Aku hanya tersenyum kecil ketika melihat temanku yang satu itu. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka dan rupanya Mr. Hopwood baru masuk.
                Aku segera mengambil posisi duduk yang benar dan menaruh alat tulis serta buku-bukuku di meja. Dalam pelajaran science ada tiga buku yang harus, eh, wajib dibawa. Kenapa wajib? Tidak ada murid yang tahu. Tapi semua guru science di sekolah ini sama. Dalam setiap pelajaran science paling tidak ada tiga buku yang wajib dibawa oleh para murid.
                “Baik, anak-anak, selamat pagi.” Mr. Hopwood membuka pelajaran.
                “Pagi, Mr. Hopwood.” Kami menjawab kompak.
                “Baik, pelajaran science hari ini hanya review materi-materi sebelumnya. Dan bila ada diantara kalian yang merasa tugasnya belum lengkap, harap segera hubungi saya dan saya akan memberitahu kalian tugas apa saja yang belum kalian kerjakan. Sekarang sebelum memulai kegiatan kita hari ini, ada pertanyaan?”

*

                Pelajaran hari ini sudah selesai. Tiba waktunya untuk pulang. Aku mendesah lega. Sudah seharian ini aku merasa tidak bersemangat dan stress. Jangan tanya aku apa alasannya karena aku sendiri tidak tahu. Kepalaku berdenyut-denyut setiap saat dan aku merasa sesak nafas. Tapi aku sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi padaku saat itu. Hanya saja aku tahu apa penyebabnya.
                “Luna! Tunggu aku!”
                Aku menoleh dan melihat Florrie sedang berlari-lari kecil ke arahku sambil membawa setumpuk kertas. Florrie terlihat acak-acakkan. Rambutnya yang tadi tergerai rapi sekarang berantakan, celananya sedikit kusut dan bagian bawahnya sedikit terlipat, tas selempangnya dalam keadaan setengah terbuka, dan sebuah pulpen ia selipkan asal di kerah kausnya sehingga terlihat aneh. Dia benar-benar terlihat kacau dan bingung. Sorot mata dan warna pipinya menunjukkan bahwa dia lelah.
                “Kau kenapa?” tanyaku ketika Florrie sudah berdiri di dekatku. Aku buru-buru membantunya membawa tumpukan kertas yang sedari tadi dipegangnya. “Rambutmu kacau sekali.”
                “Ah, iya, sebentar,” Florrie mengaduk-aduk tasnya dan mengeluarkan sebuah ikat rambut warna hitam. Ia menguncir satu rambut ikal merahnya itu dan mengibaskannya ke belakang. “Nah, sekarang, tunggu dulu di sini sementara aku membereskan barang-barangku.”
                Aku tertawa pelan sambil mengangguk. Aku duduk di kursi taman yang ada di pinggir sambil menunggu Florrie membereskan barang-barangnya. Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Flo, apa yang kaulakukan sampai kau terlihat acak-acakkan begitu?”
                “Hah?” Florrie menatap pakaiannya yang acak-acakkan lalu buru-buru merapikannya. Ia menjilat bibir lalu tertawa kecil. “Tadi aku bertabrakkan dengan seseorang—aku tidak kenal siapa—yang jelas badannya besar, jauh lebih besar daripada aku. Aku sedang mencarimu tapi tidak ketemu. Akhirnya aku menabrak orang itu saat sedang mengarah kemari.”
                Aku tidak bisa menahan diri untuk tertawa. “Lalu... ini kertas apa?” tanyaku sambil menunjuk tumpukan kertas yang sedang kupegang.
                “Yang mana?” tanyanya sambil menatap kertas yang ada di tanganku. “Itu hanya berkas-berkas yang kusimpan di tas. Tapi karena tasku robek, terpaksa aku membawanya.”
                “Tasmu robek?”
                “Ya, ini,” Florrie menunjukkan bagian tasnya yang robek. “Isinya terlalu banyak, bahkan aku tidak bisa membawa buku-buku pelajaranku gara-gara tas ini robek.”
                “Astaga.” Aku tertawa lagi. “Lain kali sebaiknya kau bawa tas ransel saja, jangan tas selempang.”
                “Ya, ya, kurasa kau benar,” kata Florrie sambil membetulkan lipatan celananya. “Tapi tolong dulu aku, tempat pensilku, ini, kau pegang dulu. Ah, masukkan pulpen ini.”
                Aku menerima pulpen yang disodorkan Florrie lalu membuka tempat pensil Florrie untuk menaruh pulpennya. Setelah itu, aku menutupnya kembali dan menyerahkannya pada Florrie. “Ini.”
                “Ah, ya, terima kasih,” katanya setelah menerima tempat pensil itu. “Nah, sudah beres semua. Ayo kita ke rumahku. Kau akan ikut aku, kan?”
                “Ya, lagipula tidak ada yang menjemputku siang ini.”

*