“Saara, kenapa kau lama di atas?” tanya Sebastian,
adik laki-lakiku. “Untung saja pancake
lezat buatan Selma belum jadi. Kalau sudah, kau tidak akan dapat bagian.”
Aku tersenyum. “Aku beruntung, bukan?”
“Yah, kau beruntung. Tapi aku tidak,” Sebastian
mendesah. “Ayo, ke dapur! Pasti pancake
buatan Selma sudah jadi!”
Aku mengangguk dan mengikutinya ke dapur.
“Hai, Saara! Hai, Sebastian!” sapa Selma. “Kalian
datang tepat waktu! Pancake ini baru
saja jadi!”
“Nah, benar apa kataku!” Sebastian berseru senang. Ia
duduk di kursi. “Ayo suguhkan, Sel! Aku sudah sangat lapar sejak bangun tadi.”
“Kau memang selalu lapar,” Selma memotong pancake dan memotongnya di piring. “Dan,
oh! Jangan memanggilku ‘Sel’! Kau tahu aku benci itu.”
“Baiklah, El,” balas Sebastian.
Aku tertawa kecil. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi nyaring. Argh!
Aku lupa mengaktifkan mode silent! aku mengeluh dalam hati.
“Handphone-mu
bunyi, Saara?” tanya Selma. “Dari siapa?”
“Saara tidak bilang pada kita, El,” Sebastian
menatapku penuh arti. “Jadi berceritalah.”
Aku menatap mereka tajam. “Dengar ya, satu, handphone-ku memang berbunyi. Dua, itu
dari temanku. Tiga, memang apa yang harus kukatakan pada kalian? Empat, tidak
ada cerita yang begitu penting untuk diceritakan.”
“Oh, Bas,” Selma menatap Sebastian. “Dia marah.”
“Diam kalian berdua,” seruku. Mereka berdua langsung
diam dan terlarut dalam lezatnya pancake
mereka. Aku menghela napas lalu membaca pesan yang masuk.
From: Iiro
24/11/2011 05:48
Kau sudah di sekolah?
Astaga,
desahku. Aku mulai mengetik untuk membalas pesannya.
To: Iiro
Sepagi ini? Yang benar
saja!
Selesai membalas, aku kembali menyantap pancake-ku. Benar kata Sebastian, pancake yang dibuat Selma memang enak
sekali. Jarang-jarang Selma memasak. Biasanya setiap pagi akulah yang memasak
sarapan.
Handphone-ku
berbunyi lagi.
From: Iiro
24/11/2011 05:50
Memang aku bercanda? Aku
sudah di ruang mading. Kalau kau sudah sampai beritahu aku ya!
To: Iiro
Memang kau siapa? Ah,
baiklah nanti kukabari
“Ar,” panggil Sebastian. “Siapa itu? Aku dengar pagi
tadi, handphone-mu berbunyi
sekitar... lima kali! Kau sedang saling kirim pesan dengan siapa?”
“Aku sudah bilang kalau dia temanku,” jawabku.
“Tapi kenapa sibuk sekali?” tanya Selma.
“Hari ini ada inspeksi di sekolah, jadi kami harus
berpakaian rapi, bersih, dan sesuai tim masing-masing. Kami berada di tim
mading dan sekarang sedang berdiskusi soal kartu pengenal,” jawabku setengah berbohong.
Hari ini memang akan ada inspeksi, tapi aku tidak sedang berdiskusi soal kartu
pengenal dengan Iiro.
“Ooh,” Selma manggut-manggut. “Omong-omong, Ar, kau
tidak pandai berbohong.”
Aku mengangkat alis.
“Maksud Selma, kelihatan sekali kau berbohong tadi,”
sela Sebastian. “Matamu tidak bisa menipu, tahu? Jadi katakan saja yang
sebenarnya.”
Aku mendesah. “Ok, temanku bertanya padaku apa aku
sudah tiba di sekolah. Lalu dia minta agar aku mengabarinya ketika aku sudah
sampai.”
“Memang dia siapa? Kenapa dia harus tahu kau sudah
sampai?” tanya Selma.
“Ya, kenapa?” tanya Sebastian.
“Astaga, adik-adikku, tidak semua hal harus kalian
ketahui. Nah, aku harus berangkat sekarang. Jangan sampai kalian terlambat sekolah,
ya! Bye!”
Tiba-tiba handphone-ku
berbunyi lagi.
From: Iiro
24/11/2011 05:54
Aku iiro dan aku yakin
aku sudah memberitahumu
*
From: Iiro
24/11/2011 06:17
Kau dimana? Lama sekali
To: Iiro
Sabar, aku baru menaiki
tangga
Aku mendesah keras. Pukul enam. Di sekolah yang
belnya baru berbunyi pukul delapan. Apa maksud Iiro menyuruhku datang sepagi
ini ke ruang mading?
Aku memasuki ruang Journalist Team. Sepi. Tidak ada orang di dalam. Kemudian aku
memasuki ruang mading. Tidak ada orang juga di dalam. Iiro, dimana kau? pikirku setengah kesal.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku terkejut
tapi berusaha untuk tidak berteriak. Kemudian aku menoleh. Iiro.
“Ah, kau, kukira siapa,” aku menghembuskan napas
lega. “Aku ingin lihat kameramu, boleh?”
“Cuma lihat kamera?” dia menahan tawa.
Aku menghembuskan napas keras. “Ok, ok, lihat hasil
fotomu di Ruka.”
Dia mengangguk lalu memberikan kameranya. Aku
mengambil kameranya dan mulai memainkan jari-jariku di atas tombolnya.
Iiro duduk di sebelahku dan ikut melihat hasil
potretnya. Ada foto Ruka Village, foto
sebuah cottage di Ruka, foto
Rukantuturi, pemandangan dari Rukantuturi, dan banyak lagi. Semua foto itu
terlihat menakjubkan di mataku. Tapi sepertinya tidak bagi orang yang duduk di
sampingku.
“Bagus sekali,” pujiku sambil memberikan kembali
kamera itu pada Iiro. “Aku paling suka foto pemandangan dari Rukantuturi. Hei,
aku boleh minta fotonya?”
Iiro mengerutkan dahi. “Untuk apa?”
“Untuk apa lagi? Tentu saja untuk kupajang di kamar. Mungkin
juga akan kujadikan wallpaper di
komputer, laptop, atau handphone,” jawabku sambil tertawa
kecil.
“Astaga, serius?” Iiro melotot. “Foto seperti ini?
Yang benar saja.”
“Aku serius,” aku tertawa kecil. “Boleh?”
Iiro menggeleng. “Jelek,” katanya.
“Ayolah,” bujukku. “Kalau kubilang itu jelek tidak
akan kuminta. Jadi... boleh, ya? Aku tidak akan bilang siapa-siapa.”
Iiro diam.
“Iiro?”
Dia menoleh.
“Boleh, ya?” tanyaku sedikit memaksa. “Aku janji
tidak akan bilang siapa-siapa.”
Dia menggeleng lagi.
“Kenapa tidak?” aku mendesah. “Ayolah.”
Dia menggeleng. “Jelek.”
“Terserah, deh,” aku menyerah. “Oya, tapi foto yang
kau bilang jelek itu nanti akan dipajang di mading, kan? Jadi orang-orang akan
tetap melihatnya.”
Iiro diam. Aku meraih handphone-ku. Rupanya ada satu pesan.
From: Selma
24/11/2011 06:21
Ar, bas diare. Aku dan
dia tidak ke sekolah hari ini. Jika sudah selesai sekolah cepat pulang
Aku melihat jam. 06:30. Oh, tidak. Aku terlambat
membalas.
To: Selma
Maaf baru membalas
pesanmu. Aku akan pulang cepat
Selesai membalas pesan Selma, aku berdiri lalu duduk
di meja editor. Sudah ada dua artikel
yang menunggu di-edit. Artikel dari Juho
dan Eveliina. Aku menghembuskan napas panjang. Dua tugas sudah menanti. Lebih
baik kukerjakan secepatnya.
“Kalau begitu boleh,” ucap Iiro. “Tapi jangan bilang
siapa-siapa.”
Aku menoleh lalu tersenyum. “Setuju,” balasku.
“Kalau begitu aku pinjam dulu memory card
kameramu, nanti kukembalikan setelah—“
“Olga
akan memilih fotonya hari ini,” potong Iiro.
“Ah,”
balasku. “Kalau begitu kirim saja lewat e-mail,
bagaimana?”
Iiro
mengangguk. Ia mengambil secarik kertas dari saku celananya. “Pulpen?”
Aku
mengaduk-aduk tasku dan menemukan sebuah pulpen. Tampaknya itu milik Selma.
Tapi berhubung aku tidak menemukan pulpen lain, aku memakai pulpen itu. “Ini.”
“Tulis
e-mail,” ujarnya singkat.
Aku
mengangguk dan menulis alamat e-mail-ku
di kertas itu. “Ini. Jangan beritahu orang lain, ya. Aku tidak mau e-mail-ku diketahui orang banyak.”
Iiro
mengangguk lalu mengambil kertas itu.
*