Ayahku,
Xinus, menghampiriku lalu duduk di sampingku. “Kau tentu tahu A8 untuk meeting perusahaan ayah, kan? Jangan
sampai kau salah masuk ruangan.”
“Ta-tapi
tadi.” Aku menunjuk ke dalam ruangan. “Bukankah ada Tiaco?”
Ayah
mengerutkan dahinya. “Tidak ada. Mungkin dia terlihat mirip karena kau
melihatnya dalam kondisi panik.” Ayah berdiri lalu mengulurkan tangannya. “Ayah
yakin kau tidak ada urusannya dengan ruangan ini, Flavy. Sebenarnya kau harus
ada di ruangan nomor berapa?”
“Sebentar.”
Aku membuka fono-ku. Ruang A5. Oke,
kenapa aku bisa berpikir ruang A8?
“A5,” ucapku
pelan. “Baiklah, yah, aku akan ke sana sekarang.”
Ayah
mengangguk. “Sampaikan salamku pada Tiaco. Oh, ya. Jangan sampai kau salah
masuk ruangan lagi. Oke?”
Aku
mendengus pelan lalu tertawa. “Tidak akan, baiklah, aku pergi sekarang. Sampai
jumpa nanti malam, yah.”
“Ya. Jangan
lupa ruanganmu lagi.”
Aku tertawa
kecil, melambaikan tangan, lalu buru-buru berlari menuju ruang A5 yang jaraknya
sekitar 3 ruangan dari A8. Aku mendesah kesal. Kenapa aku bisa lupa kalau meeting-ku ada di ruang A5?
“Flavy!
Tunggu!”
Aku menghentikan
langkahku lalu menoleh. “Purpo? Bukankah kau seharusnya ada di dalam?”
Purpo
menghentikan langkahnya lalu memasang senyum manis yang semanis-manisnya. “Kau
tahu aku sering sekali bangun terlambat,” katanya lalu tertawa. “Apa sudah
mulai?”
Aku mengintip
di jendela ruangan lalu mengerutkan dahi. “Jangan harap. Bahkan belum ada orang
di dalam sini.”
Purpo
mengangkat sebelah alisnya. “Oke, kita bisa jadi orang yang pertama datang. Ayo
duduk di dalam.”
*
“Huft,”
desahku pelan sambil menutup tasku. “Itu yang terakhir, tinggal membawa fono
dan selesai sudah urusan ini.”
Veeri
tertawa kecil. “Aku benar-benar ingin ikut, ke Bandung, bersamamu dan Purpo.”
Aku menghela
nafas. “Kau, sebaiknya tunggu di sini dan pelajarilah ilmu kebumian apa pun.”
Veeri
mendengus. “Payah. Kalau saja ibuku mengizinkan, aku akan ikut denganmu
mempelajari ilmu hewan.”
“Kalau kau
ikut mempelajari ilmu hewan, tentu saja kau tidak akan bersamaku di Bandung,
kan?”
“Ah, ya,
benar.” Veeri menggelengkan kepalanya. “Ya sudah, aku lelah memaksa. Kau pergi
ke sana bersama siapa selain Purpo?”
Aku berpikir
sebentar. “Tentu saja jumlahnya sangat banyak, lebih dari 1000 Modra, kurasa.
Yang dikirim ke Indonesia ada sekitar 100 Modra. Aku bertugas di Bandung
bersama Purpo, Iger, Frax, dan Ruber, kalau tidak salah.”
“Wah,
asyiknya,” desah Veeri. “Sayang sekali aku tidak bisa ikut. Oya, apa ayahku
juga di Indonesia? Atau di negara lain?”
“Mm...
tidak, karena dia pimpinannya, jadi tugasnya berkeliling dari satu kota ke kota
lainnya, memeriksa pekerjaan setiap tim, supaya tidak berantakan. Yang pasti
dia akan sangat sibuk.”
“Dan jarang
pulang ke Lorra?”
Aku
mengangkat alis. “Apa aku bilang aku akan sering pulang ke Lorra?”
“Jangan
bilang kau tidak akan pulang.”
“Tentu saja
tidak!” Aku tertawa kecil. “Tapi aku tidak akan pulang sampai penelitianku
selesai. Begitu pula yang lain, terutama Tiaco. Semua akan sangat sangat
sangaaaat sibuk. Kau harus bersabar selama enam bulan, oke, Veeri?”
Veeri
mendesah kesal.
bersambung...