Rabu, 20 Februari 2013

Sinopsis "When The Planet Blows Up"


Di dalam Galaksi Bimasakti, ada satu planet yang ditinggali ribuan makhluk. Makhluk itu disebut modra. Flavy adalah salah satu modra yang tinggal di planet itu. Nama planet itu Lorra. Modra hidup bahagia selama ribuan tahun. Suatu hari, para ilmuwan mengabarkan bahwa Lorra sedang menuju kehancurannya!
Flavy dan keempat temannya, Purpo, Iger, Frax, dan Ruber, pergi ke Bumi untuk melakukan penelitian demi menyelamatkan Lorra. Setelah enam bulan di Bumi, mereka menerima kabar yang sangat buruk. Lorra benar-benar akan hancur dalam hitungan hari!

Dengan segala daya dan upaya, mereka berusaha menyelamatkan orang-orang yang mereka kasihi. Akankah mereka berhasil? Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Baca kisahnya dalam buku ini...

Minggu, 10 Februari 2013

Luna's Diary (part 3)


                Aku dan Florrie sampai di kelas tepat saat bel berbunyi. Dengan langkah cepat aku segera mencari meja yang bertuliskan namaku di atasnya. Dan aku belum menemukannya. Padahal aku sudah mencari di 10 meja—ada 15 meja di setiap kelas, satu meja untuk dua orang—tapi namaku belum terlihat. Sisa dua meja lagi. Aku melihat huruf ‘L’ dan ‘U’ di sebuah meja yang sisi kanannya sudah ditempati seorang anak laki-laki yang kelihatannya sedang tidur. Aku mendekat dan membaca tulisan di meja itu. Luna Greyson. Ah, ini memang tempatku.
                “Permisi,” ucapku pada anak laki-laki yang kelihatan sedang tidur itu. “Bisakah kau bergeser? Ini tempatku.”
                Anak laki-laki itu terbangun dan menatapku. Oh, rupanya itu Will. William Stiefel. Dia anak paling pintar di kelas—atau mungkin di angkatan ini—dan dia termasuk tipe orang yang pendiam. Dia tidak banyak tingkah dan selama ini yang kutahu nilai attitude-nya selalu masuk kategori excellent.
                “Ah?” Will menatap tulisan nama di depannya. “Oh, ya, ini tempatmu. Maaf, maaf, aku akan bergeser.”
                Aku menunggu Will menggeser badannya, kemudian aku duduk dan mengeluarkan alat tulisku dari tas. Setelah itu, aku keluar dari kelas untuk menaruh tasku di loker. Loker kami memang ditaruh di luar kelas, tapi loker kami selalu dalam keadaan terkunci. Lagipula principal tidak mengizinkan kami menaruh barang berharga di dalamnya. Yah, seaman-amannya lingkungan sekolah ini, tetap saja ada titik lemahnya. Tapi aku memang tidak pernah menaruh barang berharga di dalam loker. Aku pasti menaruh dompet, ponsel, atau barang berharga lainnya di tas pinggang yang selalu kubawa kemana-mana. Ini kebiasaan sejak kecil yang akhirnya terbawa sampai sekarang.
                “Apa mata pelajaran pertama?” tanyaku pada Will ketika aku baru saja duduk di kursi setelah menaruh tas di loker.
                Will membuka jurnalnya lalu berkata, “Science.”
                Aku manggut-manggut. “Lalu hari ini kita akan belajar tentang apa? Oh, apakah ujian atau pelajaran biasa?”
                “Mm... aku tidak tahu.” Will mengangkat bahu. “Mr. Hopwood tidak bilang apa-apa waktu itu. Yang jelas sudah tidak ada materi baru untuk semester ini.”
                “Syukurlah.” Aku menghembuskan nafas lega.
                Oya, sedikit penjelasan mengenai Will. Kenapa aku bertanya terus padanya? Hanya ada satu alasan. Selain murid terpintar di kelas, Will merangkap sebagai ketua kelas di kelas kami, kelas 2-1. Para guru selalu mengabari Will tentang ujian, informasi-informasi penting, dan sebagainya. Wali kelas kami, Ms. Harlow, menunjuk Will sebagai ketua kelas karena Will adalah satu-satunya murid laki-laki yang dapat dipercaya di kelas ini. Aku sebenarnya setuju-setuju saja karena sama seperti Ms. Harlow, aku tidak bisa memercayai murid laki-laki yang lain.
                Seseorang menepuk pundakku dan tepukan itu mengembalikan kesadaranku.
                “Luna, kau melamun, ya?” ujar suara itu. “Aku sudah memanggilmu tiga kali tapi kau tidak menyahut juga.”
                Aku tahu itu bukan suara Will. Aku menoleh dan menemukan sosok Florrie sedang menatapku dengan wajah heran bercampur bingung. Aku tertegun sejenak. Tiba-tiba Florrie berkata lagi, “Kenapa menatapku seperti itu?”
                “Tidak, hanya... bingung.” Aku mengangkat bahu lalu kembali menghadap depan.
                “Hei, Luna, kau tahu tidak?”
                “Apa?” balasku tanpa menoleh.
                “Aku duduk di belakangmu!”
                “Lalu kenapa?”
                “Aku hanya memberitahu,” Florrie terus berceloteh dengan riang. “Jadi selama pelajaran, aku bisa bertanya padamu kalau aku tidak bisa mengerjakannya. Dan aku juga bisa memanggilmu kapan saja aku mau. Dan aku juga bisa mengerjaimu kapan saja!”
                “Oh.”
                “Ah, kau tidak menanggapiku.” Florrie mendesah lalu menopang dagunya. Aku hanya tersenyum kecil ketika melihat temanku yang satu itu. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka dan rupanya Mr. Hopwood baru masuk.
                Aku segera mengambil posisi duduk yang benar dan menaruh alat tulis serta buku-bukuku di meja. Dalam pelajaran science ada tiga buku yang harus, eh, wajib dibawa. Kenapa wajib? Tidak ada murid yang tahu. Tapi semua guru science di sekolah ini sama. Dalam setiap pelajaran science paling tidak ada tiga buku yang wajib dibawa oleh para murid.
                “Baik, anak-anak, selamat pagi.” Mr. Hopwood membuka pelajaran.
                “Pagi, Mr. Hopwood.” Kami menjawab kompak.
                “Baik, pelajaran science hari ini hanya review materi-materi sebelumnya. Dan bila ada diantara kalian yang merasa tugasnya belum lengkap, harap segera hubungi saya dan saya akan memberitahu kalian tugas apa saja yang belum kalian kerjakan. Sekarang sebelum memulai kegiatan kita hari ini, ada pertanyaan?”

*

                Pelajaran hari ini sudah selesai. Tiba waktunya untuk pulang. Aku mendesah lega. Sudah seharian ini aku merasa tidak bersemangat dan stress. Jangan tanya aku apa alasannya karena aku sendiri tidak tahu. Kepalaku berdenyut-denyut setiap saat dan aku merasa sesak nafas. Tapi aku sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi padaku saat itu. Hanya saja aku tahu apa penyebabnya.
                “Luna! Tunggu aku!”
                Aku menoleh dan melihat Florrie sedang berlari-lari kecil ke arahku sambil membawa setumpuk kertas. Florrie terlihat acak-acakkan. Rambutnya yang tadi tergerai rapi sekarang berantakan, celananya sedikit kusut dan bagian bawahnya sedikit terlipat, tas selempangnya dalam keadaan setengah terbuka, dan sebuah pulpen ia selipkan asal di kerah kausnya sehingga terlihat aneh. Dia benar-benar terlihat kacau dan bingung. Sorot mata dan warna pipinya menunjukkan bahwa dia lelah.
                “Kau kenapa?” tanyaku ketika Florrie sudah berdiri di dekatku. Aku buru-buru membantunya membawa tumpukan kertas yang sedari tadi dipegangnya. “Rambutmu kacau sekali.”
                “Ah, iya, sebentar,” Florrie mengaduk-aduk tasnya dan mengeluarkan sebuah ikat rambut warna hitam. Ia menguncir satu rambut ikal merahnya itu dan mengibaskannya ke belakang. “Nah, sekarang, tunggu dulu di sini sementara aku membereskan barang-barangku.”
                Aku tertawa pelan sambil mengangguk. Aku duduk di kursi taman yang ada di pinggir sambil menunggu Florrie membereskan barang-barangnya. Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Flo, apa yang kaulakukan sampai kau terlihat acak-acakkan begitu?”
                “Hah?” Florrie menatap pakaiannya yang acak-acakkan lalu buru-buru merapikannya. Ia menjilat bibir lalu tertawa kecil. “Tadi aku bertabrakkan dengan seseorang—aku tidak kenal siapa—yang jelas badannya besar, jauh lebih besar daripada aku. Aku sedang mencarimu tapi tidak ketemu. Akhirnya aku menabrak orang itu saat sedang mengarah kemari.”
                Aku tidak bisa menahan diri untuk tertawa. “Lalu... ini kertas apa?” tanyaku sambil menunjuk tumpukan kertas yang sedang kupegang.
                “Yang mana?” tanyanya sambil menatap kertas yang ada di tanganku. “Itu hanya berkas-berkas yang kusimpan di tas. Tapi karena tasku robek, terpaksa aku membawanya.”
                “Tasmu robek?”
                “Ya, ini,” Florrie menunjukkan bagian tasnya yang robek. “Isinya terlalu banyak, bahkan aku tidak bisa membawa buku-buku pelajaranku gara-gara tas ini robek.”
                “Astaga.” Aku tertawa lagi. “Lain kali sebaiknya kau bawa tas ransel saja, jangan tas selempang.”
                “Ya, ya, kurasa kau benar,” kata Florrie sambil membetulkan lipatan celananya. “Tapi tolong dulu aku, tempat pensilku, ini, kau pegang dulu. Ah, masukkan pulpen ini.”
                Aku menerima pulpen yang disodorkan Florrie lalu membuka tempat pensil Florrie untuk menaruh pulpennya. Setelah itu, aku menutupnya kembali dan menyerahkannya pada Florrie. “Ini.”
                “Ah, ya, terima kasih,” katanya setelah menerima tempat pensil itu. “Nah, sudah beres semua. Ayo kita ke rumahku. Kau akan ikut aku, kan?”
                “Ya, lagipula tidak ada yang menjemputku siang ini.”

*

G-1028 (part 1)


                 Hai, aku Lea. Lea Roux. Aku robot, nama proyekku G-1028. Robot, sebagaimana yang diketahui semua orang, tidak memiliki emosi. Itu benar. Tapi... aku harap aku memiliki emosi itu. Kenapa? Karena baru saja aku dibuat tertawa oleh teman-teman manusiaku. Aku tertawa terus sampai mengeluarkan semacam cairan dari mataku.
                “Lea menangis!” seru teman-temanku.
                Apa itu menangis? pikirku heran. Aku menyeka air yang keluar dari mataku itu dan memerhatikannya dengan teliti. Ini air. Tapi air apa? Aku mencoba mengusap air itu dengan tanganku yang satunya. Ini... bukan air biasa. Ini oli, bahan bakar robot. Dengan segera aku menghentikan tawaku, menyeka seluruh oli yang keluar dari mataku, memasang wajah datar, lalu segera keluar dari ruangan.
                “G-1028? Ada apa?”
                DEG! Siapa yang memanggilku dengan nama proyekku? Aku pun menoleh. “Oh, Claire.” Aku menghembuskan nafas lega. “Tidak, tidak apa-apa. Semua baik-baik saja. Hanya... ini.”
                Claire mengangkat sebelah alisnya lalu menyeka cairan yang keluar dari mataku. “Ini oli,” katanya. “Apa yang kau lakukan tadi? Kenapa bisa jadi begini? Lea, oh, kita harus pergi ke dokter robot! Aku kenal satu orang. Ayo! Apa yang kau tunggu?”
                “Harus sekarang?” tanyaku setengah kesal. “Badanku mendadak lemas gara-gara kejadian barusan.”
                “Masa depan para robot akan terancam gara-gara robot seperti kau,” ujar Claire kesal. “Ayo, G-1028! Kita pergi sekarang sebelum terlambat!”
                “Kau bicara begitu seolah-olah aku sudah mendekati ambang kehancuran saja...,” ucapku sambil berjalan. “Dan berhenti menyebut nama proyekku, S-8077. Bagaimana kalau identitas kita ketahuan? Manusia sudah mencurigai kita, tahu?”
                “Iya, iya, tak akan kuulangi lagi,” balas Claire. “Oh, itu rumah Profesor Girard. Dia akan menyelesaikan masalahmu. Kuharap tidak ada masalah besar.”
                “Aku juga berharap begitu,” ujarku. “Kau sering ke sini?”
                “Satu kali setiap minggu,” jawabnya. “Lepas sepatumu di sini. Profesor Girard sangat benci kalau ada sepatu masuk ke dalam ruangannya.”
                “Dia manusia?”
                “Ya,” jawab Claire. “Dia keturunan langsung dari Robert Girard. Kau harusnya tahu nama ini.”
                “Pencipta robot.”
                “Tepat sekali.” Claire mengangguk. “Kalau tidak salah, Profesor Girard ini keturunan keenam atau tujuh dari si pencipta robot.”
                “Oh, begitu.” Aku manggut-manggut. “Memangnya saat dibunuh, Robert Girard sudah menikah?”
                “Sudah, tapi ketika dia dibunuh, istrinya sedang mengantar anak-anaknya sekolah, kalau aku tidak salah ingat. Lalu ketika istrinya kembali, para robot itu sudah memakai chip ECC. Jadi istrinya tidak dibunuh dan dia bisa mengorek informasi dari robot-robot itu karena chip ECC membuat mereka jujur.”
                “Silakan masuk,” ucap seorang suster jaga di dekat situ.
                “Terima kasih,” balas Claire sambil membungkuk. Aku mengikutinya lalu kami masuk ke dalam sebuah ruangan kecil. Di dalamnya terdapat dua kursi kosong, satu meja kerja, satu kursi yang terisi seorang pria, dan sebuah ranjang periksa.
                “Ah, Claire Richard, S-8077?” tanya Profesor Girard.
                “Tepat sekali, Dokter. Kali ini aku membawa seorang teman,” jawab Claire sambil menunjuk diriku. “Dia juga robot, bisa menebak namanya?”
                “Aku tidak tahu nama manusianya, aku hanya tahu nama proyeknya. Kau... G-1028, bukan?” tebak Profesor Girard.
                Aku membelalak. “Bagaimana Anda bisa tahu, Dok?”
                “Dari postur tubuh, tatapan mata, lekukan wajah, kau bisa tahu tipe robot. Ada 26 tipe robot di dunia dan kau termasuk tipe G. Dan dilihat dari bentuk lenganmu, kau pasti robot tunggal—tidak punya saudara. Dan pada hari kau diproduksi, kau robot tipe G yang berada di urutan 28. Apa aku benar?”
                “Tepat sekali, Dok,” ucapku sambil tersenyum sopan. “Tapi jujur, aku baru tahu itu adalah cara mengetahui nama proyek suatu robot.”
                “Aku juga baru tahu,” ujar Claire. “Bagaimana cara mengetahui urutan diproduksi pada hari produksi, Dok?”
                “Tanpa kalian sadari, di tulang kering kalian tergores nomor urutan itu. Manusia tidak ada yang memiliki nomor urutan itu sehingga membedakan manusia dan robot bagiku mudah sekali.”
                “Garis-garis ini?” Aku menyibak sedikit rokku. “Oh, aku kira ini kesalahan ketika aku diproduksi. Jadi angka Romawi ini nomor urut? Coba kita lihat, XX, sudah pasti 20. VIII? Delapan, ya? Astaga. Aku baru sadar....”
                “Aku?” Claire menunduk menatap tulang keringnya. “LXX. 70. VII. Tujuh. Astaga....”
                “Tapi darimana angka nol itu kau dapatkan, Dok?” tanyaku masih penasaran.
                “Mudah saja, dalam satu hari, minimal robot yang wajib dihasilkan adalah 100 buah dan jumlah maksimalnya adalah 999. Jadi tidak mungkin kalau nomormu hanya 28, tinggal menambahkan nol di awal. Mudah, kan?”
                “Tapi bagaimana jika ada robot yang memiliki 11 saudara, Dok?” tanya Claire.
                “Tidak ada. Itu sudah kodrat robot. Kakek buyutku memasukkan semacam chip sehingga tidak mungkin robot memiliki anak lebih dari sembilan buah.”
                “Aku tidak mengerti,” ucapku. “Bukankah robot diciptakan di pabrik? Kenapa robot bisa punya anak?”
                Profesor Girard tertawa. “Tidak seperti itu,” ucapnya. “Satu bagian dari robot perempuan dan laki-laki disatukan sehingga membentuk robot lain. Jumlah bagian yang diambil maksimal sembilan buah per robot. Jika lebih, robot yang bagiannya diambil akan hancur saat itu juga.”
                Aku mengangkat alis. “Aku heran, Dok. Kalau jumlah bagian yang diambil maksimal sembilan, berarti kalau diambil satu, robot itu tidak akan hancur, bukan?”
                “Tidak selalu begitu,” katanya. “Kalau robot yang bagiannya diambil memang tidak stabil, dia bisa saja hancur. Orang tuamu, misalnya. Mereka memang dalam keadaan tidak stabil sehingga hancur beberapa hari setelah kau diproduksi.”
                Aku mengangguk. Begitu pula Claire.
                “Oh ya, ada perlu apa datang ke sini?” tanya Profesor Girard.
                “Lea mengeluarkan oli, Dok,” jawab Claire cepat.
                “Benarkah?” tanya Profesor Girard. “Baik, mari kuperiksa.”
                Aku mengangguk lalu berjalan menuju ranjang periksa. Aku berbaring di atasnya. Profesor Girard memeriksa seluruh bagian tubuhku dengan alat-alat aneh yang tidak kuketahui namanya. Setelah selesai, beliau mempersilakan aku untuk duduk di kursi tadi kembali.
                “Bagaimana, Dok?” tanya Claire dengan wajah cemas. Lama kelamaan dia jadi seperti ibuku. Sungguh!
                “Sama sekali bukan sesuatu yang bagus,” ucap Profesor Girard pelan. “Kau kehilangan 0,02 persen cadangan olimu.”
                Aku tidak suka ini. “Lalu aku harus bagaimana, Dok?”
                Profesor terdiam.

*

Sabtu, 09 Februari 2013

Sinopsis "Maafkan Aku, Sahabat"


                Persahabatan itu indah. Penuh warna dan rasa. Begitu sulit terbentuk dan begitu sulit dilepaskan. Persahabatan akan abadi jika kita tetap menjaga dan mempertahankannya.
                Begitu pula yang terjadi pada dua orang itu. Berbagai masalah telah mereka lewati bersama dan berhasil mereka atasi. Sepasang sahabat yang tak terpisahkan oleh masalah sebesar apa pun.
                Tapi berbeda ketika mereka bertemu dengan gadis itu. Gadis itu merebut hati mereka dan menimbulkan konflik diantara mereka.
                Cinta. Persahabatan. Semua dipertaruhkan di sini. Permusuhan. Rasa benci. Timbul begitu saja dalam diri kedua orang itu.
                Lama kelamaan rasa benci itu hilang. Permintaan maaf diterima. Dan berita buruk pun datang. Begitu mengejutkan, tiba-tiba. Dan... tidak terduga.
                Dia sungguh tidak dapat memercayainya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan sekarang hanya menyatakan perasaan sahabatnya, meski itu dapat menyakiti hatinya.
                Dan penyesalan itu datang...

"Bangunan" (part 1)

            Aku pertama kali melihat bangunan itu di sana saat libur sekolah. Saat itu cuaca sedang panas-panasnya. Aku menolak masuk karena tidak mau berada di sana. Lagipula tampaknya bangunan itu sedang tidak dibuka. Akhirnya kami pergi.
            Kedua kalinya aku di sana, tampaknya bangunan itu sedang dibuka. Banyak orang yang berkeliling kesana kemari. Kelihatannya sangat sibuk. Aku masuk dengan enggan bersama ibuku. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi dipaksa. Akhirnya kami masuk bersama.
            Aku berjalan tanpa semangat seakan aku sudah tidak memiliki harapan lagi. Tapi aku tahu itu berlebihan. Aku tahu aku masih punya harapan. Aku hanya malas mendatangi bangunan ini.
            Ibuku menghampiri salah seorang yang ada di sana. Kemudian orang itu mempertemukan kami dengan seseorang yang lain. Orang yang baru kami temui ini mengajak kami keliling bangunan tersebut. Kami dijelaskan mengenai ruangan-ruangan yang ada di bangunan tersebut. Aku hanya mengikuti dengan patuh sembari melangkah dengan malas. Yang kuinginkan sekarang hanya tidur pulas di mobil seperti yang sedang adikku lakukan.
            Setelah selesai, ibuku mengucapkan terima kasih dan kami kembali ke mobil. Ibuku terus membahas bagusnya bangunan itu dan membandingkannya dengan suatu hal yang lain. Tapi sebagus apa pun bangunannya, aku belum siap. Aku masih sayang. Aku belum siap.
            Kemudian setelah beberapa lama, kami kembali lagi kesana untuk survei terakhir. Entah kenapa ibuku memaksa untuk melakukannya lagi dan lagi, tapi aku hanya bisa menurut. Di sana, kami bertemu dengan orang yang berbeda lagi. Orang itu membawa kami keliling bangunan tersebut. Aku mulai bosan karena letaknya tidak pernah berubah. Tapi letak bangunan memang tidak akan berubah...
            Pada suatu hari, ada sesuatu yang menimpa keluargaku sehingga mau tidak mau aku harus siap. Aku akan pindah ke bangunan itu. Adikku juga akan pindah ke bangunan lain. Mau tidak mau kami harus siap. Kami mengurus segalanya dengan cepat agar dapat pindah secepat mungkin. Untungnya tidak ada yang menghalangi kami.
            Akhirnya pada hari Jumat aku melakukannya. Aku hanya berusaha sebaik dan semaksimal mungkin. Ibuku optimis aku akan berhasil. Aku sendiri tidak tahu apa yang kurasakan menjelang masuk ruangan untuk diuji. Jantungku berdebar-debar, aku hanya bisa berdoa kepada Allah dan berusaha semaksimal mungkin. Aku bersyukur aku dapat melewatinya dengan usaha yang cukup maksimal.
            Setelah selesai, aku keluar dan ibuku masuk. Aku duduk di samping adikku sambil bercanda-canda. Aku agak tegang menunggu hasilnya. Apa aku berhasil? Atau aku gagal? Jika aku gagal, bagaimana nanti? Apa aku harus kembali? Kuharap tidak.
            Tidak lama setelah itu, ibuku keluar. Setelah itu, kami diantar berkeliling lagi oleh orang yang mengantar kami pada kunjungan ketiga (kini kukenal sebagai Bu Riani). Kami kembali diberitahu letak-letak ruangan dan fungsinya. Membuatku bosan karena sudah dua kali begitu. Tapi kuikuti saja. Lagipula aku tidak rugi apa-apa.
            Kami kembali ke ruang depan. Hasilnya sudah keluar. Aku gugup setengah mati. Aku berusaha tenang. Aku berhasil, tapi jantungku tetap berdebar. Dan ternyata... AKU DITERIMA! Syukurlah, aku menghembuskan nafas lega. Untung saja usahaku berhasil. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. :)
            Aku akan memulai hariku di bangunan ini nanti. Hari Senin. Aku harap akan berjalan lancar. Tapi aku belum tahu aku akan ditempatkan di ruang mana. Hari Senin. Hari Senin aku akan tahu jawabannya.

*

Misteri Surat (part 1)

            Pada suatu hari, Pearl menerima sebuah surat. Di amplop surat tersebut tidak ada nama ataupun alamat pengirimnya. Karena penasaran, ia pun membuka amplop tersebut. Ia membaca surat itu sekilas. Berikut isi suratnya:


Untuk Pearl,
di rumah

Hai, Pearl!
Apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja. Oh, ya! Aku punya kejutan untukmu! Datanglah ke rumahku pukul 1 tepat. Kutunggu, lho!

Salam,
Tuck
Jl. Coklat no. 26

            “Tuck? Apa yang membuatku harus datang pukul 1?” pikir Pearl heran. Karena membaca surat tersebut dengan buru-buru, ia tidak memerhatikan alamat pengirimnya. Kemudian ia melirik jam.
            “Masih jam setengah 11, aku pergi sekarang aja, deh!” ucap Pearl. Kemudian ia berlari ke dapur.
            “Ma, apa aku boleh pergi ke rumah teman?” tanya Pearl.
            “Boleh,” jawab mamanya sambil terus memasak. Pearl langsung menuju garasi. Ia memakai pengaman sikut, pengaman lutut, serta helm. Kemudian ia memakai sepatu rodanya. Ia langsung menuju rumah Tuck.

*

            “Permisi!” seru Pearl sambil mengetuk pintu sebuah rumah yang besar, mewah, dan megah. Itulah rumah Tuck. Tuck memang kaya, namun ia tetap baik hati walau agak sombong.
            “Pearl, ada apa?” tanya ibu Tuck.
            “Tuck ada?” Pearl balik bertanya.
            “Ada, tunggu sebentar, ya,” ibu Tuck masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian ibu Tuck keluar dengan Tuck dan Piki.
            “Silakan duduk, tante akan buatkan minuman,” kata ibu Tuck kemudian kembali masuk.
            “Kenapa Pearl?” tanya Tuck sambil duduk.
            “Aku mau tanya soal surat yang kamu kirim...”
            “Surat apa?” potong Tuck.
            “Surat tentang aku harus datang jam 1. Ini suratnya kubawa,” Pearl memberikan suratnya pada Tuck. Kemudian Tuck membacanya. Ia bingung.
            “Kamu punya teman yang namanya Tuck selain aku?” tanya Tuck sambil memberikan surat milik Pearl pada Piki.
            “Nggak, kalau ada aku pasti gak datang kesini,” jawab Pearl. Ia ikut bingung.
            “Hmm... Pearl, alamat Tuck sudah jelas bukan ini,” ujar Piki. Tuck dan Pearl menoleh.
            “Maksudmu?” tanya Tuck dan Pearl bersamaan.
            “Disini ditulis alamat rumahnya di jalan coklat nomor 26. Sedangkan alamat rumahmu, Tuck?” Piki menunjuk Tuck.
            “Jalan kacang nomor 10,” jawab Tuck. Pearl bingung lagi.
            “Memangnya disitu ada alamatnya?” tanya Pearl. Piki ikut bingung.
            “Memangnya kamu gak lihat?” Piki balik bertanya. Pearl menggelengkan kepala.
            “Berarti kamu gak teliti! Ini lihat saja!” seru Piki. Ia memberikan surat tersebut pada Pearl. Pearl membacanya ulang.
            “Oh, iya,” Pearl terlihat malu. Pipinya memerah.
            “Sekarang aku mau tanya, ada siapa saja temanmu yang tinggal di jalan coklat?” tanya Piki menginterogasi Pearl.
            “Ada Tucky, Lenna, dan Grecy,” jawab Pearl heran. Mengapa Piki bertanya begitu? pikirnya berulang-ulang.
            “Siapa yang tinggalnya di nomor 26?” tanya Piki lagi.
            “Euh... aku gak hafal,” jawab Pearl.
            “Sekarang ayo kita pergi!” Piki berdiri.
            “Kemana?” tanya Tuck dan Pearl kompak.
            “Ke jalan coklat nomor 26!” seru Piki bersemangat. Ia segera mengambil sepedanya yang ia bawa ke rumah Tuck. Sementara Tuck mengeluarkan otopetnya dari garasi.
            “Ayo berangkat!” seru Piki. Mereka pun berangkat.

*

Kamis, 07 Februari 2013

Books and Camera... (part 3)


From: 0800240924
23/11/2011 11:37

Hei, maaf baru membalas pesanmu, selama di ruka handphone kumatikan. Aku baru saja pulang dari ruka bersama leevi dan olga. Sekarang kami ada di sekolah, menunggu jemputan. Kau sendiri dimana?

                Aku tertawa kecil membaca pesan balasan dari Iiro. Tidak kusangka orang pendiam itu banyak bicara di media lain. Mungkin dia tidak suka banyak bicara.

To: 0800240924

Tentu saja di kelas. Kau pulang sekarang?
Hei, besok kau masuk tidak? Aku mau lihat fotomu

                Aku memasukkan kembali handphone-ku ke dalam tas. Pelajaran sejarah memang tidak ada habisnya. Sudah 10 tahun aku bersekolah, tetap saja ada yang bisa dibahas dari pelajaran sejarah. Kadang aku jenuh. Kenapa? Karena isi pelajaran sejarah memang selalu itu.
                Tasku bergetar. Tampaknya ada pesan masuk.

From: 0800240924
23/11/2011 11:40

Sebenarnya tidak, tetap saja aku harus menunggu sampai pukul dua
Masuk. Baiklah, ingatkan aku untuk membawa kamera

                Aku tersenyum dan membalas pesan itu.

To: 0800240924

Kenapa tidak ke kelas?
Ok. Siap-siap saja menerima 20 pesan di pagi hari :-p

                Setelah membalas pesan itu, aku memasukkan kembali handphone-ku ke dalam tas. Rupanya penjelasan sudah selesai. Sekarang sesi pertanyaan.
                Elsa Halkovaara, murid terpintar di kelasku, berdiri dan bertanya tentang perang dunia. Aku menguap. Aku paling benci membahas sejarah. Bukannya aku tidak suka mempelajari sejarah, tapi guru pengajarnya benar-benar pemalas. Beliau hanya terus berbicara tanpa jeda sampai-sampai aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Apa sulitnya menjadi guru yang menyenangkan dan disukai para murid? Kadang aku tidak mengerti jalan pikiran para guru.
                Handphone-ku bergetar lagi.

From: Iiro
23/11/2011 11:46

Aku memang di kelas...
Ok. Siap-siap saja kehabisan pulsa :-p
Hei, pulsaku sudah tipis. Sudah ya, bye!

                Aku tersenyum tipis. Sebenarnya siapa yang kehabisan pulsa di sini?

To: Iiro

Lain kali hematlah pulsamu, seperti aku ini :))
Ok, bye!

                Setelah memasukkan handphone-ku ke dalam tas, aku memfokuskan diri pada penjelasan Tuan Anderson. Beberapa menit kemudian, Tuan Anderson memberi latihan singkat seputar hal yang sudah beliau jelaskan.

*

From: Olga
23/11/2011 23:18

Besok ke sekolah bawa kartu pengenal kalian. Akan ada inspeksi sekolah dan tim mading harus berseragam lengkap. Jaakko akan mengurus topi, Aleksi akan mengurus pin, dan Helena yang mengurus t-shirt. Ingat, bawa kartu pengenal. Maaf mengganggu.-Olga

From: Helena
23/11/2011 23:20

Tim mading, aku yang mengurus t-shirt jadi kalian tidak perlu khawatir
Oya, bagi yang punya nomor Iiro tolong beritahu dia karena aku tidak punya-Helena

From: Jaakko
24/11/2011 00:13

Topi tim mading ada padaku. Besok akan kubawa-Jaakko

From: Aleksi
24/11/2011 01:57

Pin sudah jadi. Besok kubawa. Wajib pakai walau kalian tidak suka modelnya. Sebarkan ke anggota lain-Aleksi

                Aku mengerutkan dahi. Kemudian aku membalas pesan mereka.

To: Olga; Helena; Aleksi; Jaakko

Terima kasih infonya

                Mendadak aku ingat bahwa aku harus mengingatkan Iiro soal kameranya. Aku tertawa kecil dan mulai mengirim pesan padanya.

To: Iiro

Jangan lupa kameramu ;)

To: Iiro

Bawa kameramu hari ini

To: Iiro

Aku ingin melihat hasil fotomu

To: Iiro

T-shirt diurus helena. Topi diurus jaakko. Pin diurus aleksi

                Aku tertawa kecil. Mungkin Iiro terkejut menerima 4 pesan sekaligus. Tapi aku tidak peduli. Aku segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
                15 menit kemudian, aku keluar dan mendapatkan 5 pesan baru di handphone-ku.

From: Olga
24/11/2011 05:11

Okay ;)

From: Iiro
24/11/2011 05:11

Kameranya kubawa

From: Iiro
24/11/2011 05:12

Astaga

From: Iiro
24/11/2011 05:15

Jangan 3 pesan juga

From: Iiro
24/11/2011 05:16

Oh baiklah

                Aku tertawa kecil dan mulai mengetik untuk membalas pesan itu.

To: Iiro

Bersyukurlah aku tidak jadi mengirimu 20 pesan :-p

                Balasan Iiro datang tidak lama setelah itu.

From: Iiro
24/11/2011 05:32

Ah, kau benar...

                Aku tertawa lalu memasukkan handphone-ku ke dalam tas. Tidak sabar untuk sampai di sekolah sesegera mungkin.

*