Minggu, 17 Maret 2013

Books and Camera... (part 4)


                “Saara, kenapa kau lama di atas?” tanya Sebastian, adik laki-lakiku. “Untung saja pancake lezat buatan Selma belum jadi. Kalau sudah, kau tidak akan dapat bagian.”
                Aku tersenyum. “Aku beruntung, bukan?”
                “Yah, kau beruntung. Tapi aku tidak,” Sebastian mendesah. “Ayo, ke dapur! Pasti pancake buatan Selma sudah jadi!”
                Aku mengangguk dan mengikutinya ke dapur.
                “Hai, Saara! Hai, Sebastian!” sapa Selma. “Kalian datang tepat waktu! Pancake ini baru saja jadi!”
                “Nah, benar apa kataku!” Sebastian berseru senang. Ia duduk di kursi. “Ayo suguhkan, Sel! Aku sudah sangat lapar sejak bangun tadi.”
                “Kau memang selalu lapar,” Selma memotong pancake dan memotongnya di piring. “Dan, oh! Jangan memanggilku ‘Sel’! Kau tahu aku benci itu.”
                “Baiklah, El,” balas Sebastian.
                Aku tertawa kecil. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi nyaring. Argh! Aku lupa mengaktifkan mode silent! aku mengeluh dalam hati.
                Handphone-mu bunyi, Saara?” tanya Selma. “Dari siapa?”
                “Saara tidak bilang pada kita, El,” Sebastian menatapku penuh arti. “Jadi berceritalah.”
                Aku menatap mereka tajam. “Dengar ya, satu, handphone-ku memang berbunyi. Dua, itu dari temanku. Tiga, memang apa yang harus kukatakan pada kalian? Empat, tidak ada cerita yang begitu penting untuk diceritakan.”
                “Oh, Bas,” Selma menatap Sebastian. “Dia marah.”
                “Diam kalian berdua,” seruku. Mereka berdua langsung diam dan terlarut dalam lezatnya pancake mereka. Aku menghela napas lalu membaca pesan yang masuk.

From: Iiro
24/11/2011 05:48

Kau sudah di sekolah?

                Astaga, desahku. Aku mulai mengetik untuk membalas pesannya.

To: Iiro

Sepagi ini? Yang benar saja!

                Selesai membalas, aku kembali menyantap pancake-ku. Benar kata Sebastian, pancake yang dibuat Selma memang enak sekali. Jarang-jarang Selma memasak. Biasanya setiap pagi akulah yang memasak sarapan.
                Handphone-ku berbunyi lagi.

From: Iiro
24/11/2011 05:50

Memang aku bercanda? Aku sudah di ruang mading. Kalau kau sudah sampai beritahu aku ya!

To: Iiro

Memang kau siapa? Ah, baiklah nanti kukabari

                “Ar,” panggil Sebastian. “Siapa itu? Aku dengar pagi tadi, handphone-mu berbunyi sekitar... lima kali! Kau sedang saling kirim pesan dengan siapa?”
                “Aku sudah bilang kalau dia temanku,” jawabku.
                “Tapi kenapa sibuk sekali?” tanya Selma.
                “Hari ini ada inspeksi di sekolah, jadi kami harus berpakaian rapi, bersih, dan sesuai tim masing-masing. Kami berada di tim mading dan sekarang sedang berdiskusi soal kartu pengenal,” jawabku setengah berbohong. Hari ini memang akan ada inspeksi, tapi aku tidak sedang berdiskusi soal kartu pengenal dengan Iiro.
                “Ooh,” Selma manggut-manggut. “Omong-omong, Ar, kau tidak pandai berbohong.”
                Aku mengangkat alis.
                “Maksud Selma, kelihatan sekali kau berbohong tadi,” sela Sebastian. “Matamu tidak bisa menipu, tahu? Jadi katakan saja yang sebenarnya.”
                Aku mendesah. “Ok, temanku bertanya padaku apa aku sudah tiba di sekolah. Lalu dia minta agar aku mengabarinya ketika aku sudah sampai.”
                “Memang dia siapa? Kenapa dia harus tahu kau sudah sampai?” tanya Selma.
                “Ya, kenapa?” tanya Sebastian.
                “Astaga, adik-adikku, tidak semua hal harus kalian ketahui. Nah, aku harus berangkat sekarang. Jangan sampai kalian terlambat sekolah, ya! Bye!”
                Tiba-tiba handphone-ku berbunyi lagi.

From: Iiro
24/11/2011 05:54

Aku iiro dan aku yakin aku sudah memberitahumu

*

From: Iiro
24/11/2011 06:17

Kau dimana? Lama sekali

To: Iiro

Sabar, aku baru menaiki tangga

                Aku mendesah keras. Pukul enam. Di sekolah yang belnya baru berbunyi pukul delapan. Apa maksud Iiro menyuruhku datang sepagi ini ke ruang mading?
                Aku memasuki ruang Journalist Team. Sepi. Tidak ada orang di dalam. Kemudian aku memasuki ruang mading. Tidak ada orang juga di dalam. Iiro, dimana kau? pikirku setengah kesal.
                Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku terkejut tapi berusaha untuk tidak berteriak. Kemudian aku menoleh. Iiro.
                “Ah, kau, kukira siapa,” aku menghembuskan napas lega. “Aku ingin lihat kameramu, boleh?”
                “Cuma lihat kamera?” dia menahan tawa.
                Aku menghembuskan napas keras. “Ok, ok, lihat hasil fotomu di Ruka.”
                Dia mengangguk lalu memberikan kameranya. Aku mengambil kameranya dan mulai memainkan jari-jariku di atas tombolnya.
                Iiro duduk di sebelahku dan ikut melihat hasil potretnya. Ada foto Ruka Village, foto sebuah cottage di Ruka, foto Rukantuturi, pemandangan dari Rukantuturi, dan banyak lagi. Semua foto itu terlihat menakjubkan di mataku. Tapi sepertinya tidak bagi orang yang duduk di sampingku.
                “Bagus sekali,” pujiku sambil memberikan kembali kamera itu pada Iiro. “Aku paling suka foto pemandangan dari Rukantuturi. Hei, aku boleh minta fotonya?”
                Iiro mengerutkan dahi. “Untuk apa?”
                “Untuk apa lagi? Tentu saja untuk kupajang di kamar. Mungkin juga akan kujadikan wallpaper di komputer, laptop, atau handphone,” jawabku sambil tertawa kecil.
                “Astaga, serius?” Iiro melotot. “Foto seperti ini? Yang benar saja.”
                “Aku serius,” aku tertawa kecil. “Boleh?”
                Iiro menggeleng. “Jelek,” katanya.
                “Ayolah,” bujukku. “Kalau kubilang itu jelek tidak akan kuminta. Jadi... boleh, ya? Aku tidak akan bilang siapa-siapa.”
                Iiro diam.
                “Iiro?”
                Dia menoleh.
                “Boleh, ya?” tanyaku sedikit memaksa. “Aku janji tidak akan bilang siapa-siapa.”
                Dia menggeleng lagi.
                “Kenapa tidak?” aku mendesah. “Ayolah.”
                Dia menggeleng. “Jelek.”
                “Terserah, deh,” aku menyerah. “Oya, tapi foto yang kau bilang jelek itu nanti akan dipajang di mading, kan? Jadi orang-orang akan tetap melihatnya.”
                Iiro diam. Aku meraih handphone-ku. Rupanya ada satu pesan.

From: Selma
24/11/2011 06:21

Ar, bas diare. Aku dan dia tidak ke sekolah hari ini. Jika sudah selesai sekolah cepat pulang

                Aku melihat jam. 06:30. Oh, tidak. Aku terlambat membalas.

To: Selma

Maaf baru membalas pesanmu. Aku akan pulang cepat

                Selesai membalas pesan Selma, aku berdiri lalu duduk di meja editor. Sudah ada dua artikel yang menunggu di-edit. Artikel dari Juho dan Eveliina. Aku menghembuskan napas panjang. Dua tugas sudah menanti. Lebih baik kukerjakan secepatnya.
                “Kalau begitu boleh,” ucap Iiro. “Tapi jangan bilang siapa-siapa.”
                Aku menoleh lalu tersenyum. “Setuju,” balasku. “Kalau begitu aku pinjam dulu memory card kameramu, nanti kukembalikan setelah—“
                “Olga akan memilih fotonya hari ini,” potong Iiro.
                “Ah,” balasku. “Kalau begitu kirim saja lewat e-mail, bagaimana?”
                Iiro mengangguk. Ia mengambil secarik kertas dari saku celananya. “Pulpen?”
                Aku mengaduk-aduk tasku dan menemukan sebuah pulpen. Tampaknya itu milik Selma. Tapi berhubung aku tidak menemukan pulpen lain, aku memakai pulpen itu. “Ini.”
                “Tulis e-mail,” ujarnya singkat.
                Aku mengangguk dan menulis alamat e-mail-ku di kertas itu. “Ini. Jangan beritahu orang lain, ya. Aku tidak mau e-mail-ku diketahui orang banyak.”
                Iiro mengangguk lalu mengambil kertas itu.

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar