Ah, desahku. Untuk kali ini saja, aku harap aku bukan Danny...
*
From: Giena
15/8/2010 14:38
Aku sudah selesai mengisinya, hanya dua paragraf. Kau
mau mengisinya seberapa panjang?
Aku
membelalak membaca pesan itu. HANYA dua paragraf?? Astaga, untuk seorang juara
kelas sepertinya dua paragraf memang cocok disebut sebagai hanya. Tapi untukku?
Satu paragraf saja sudah kusebut banyak. Astaga...
To: Giena
Astaga kau serius? Aku bahkan belum tentu mengisinya
satu paragraf
Setelah
menekan tombol send, aku duduk dan
berpikir. Begini, mari kita luruskan. Aku, dipasangkan dengan Giena, si kutu
buku dan juara kelas. Aku? Pemain basket dan futsal terbaik di sekolah juga
ahli gitar dan menyanyi. Kelihatannya cocok, tidak?
Tidak.
Ada
lagi, tema buku harian itu “orang yang disuka”. Begini saja, aku hampir lulus
dari SMP. Sejak dulu, aku hanya sekedar mengagumi seseorang, bahkan tidak
sampai memuja-mujanya dan memintanya menjadi pacarku. Hahaha, begini, aku belum
pernah menyukai seseorang secara serius. Tentu saja mustahil belum pernah
menyukai orang, yang benar adalah aku belum pernah menyukai seseorang secara
serius.
Sampai
sekarang.
Sampai
detik ini.
Bagaimana
dengan detik ini?
Tidak
juga.
Intinya,
aku... entahlah, aku tidak begitu mengerti. Aku tahu aku sudah siap menyukai
seseorang dengan serius, tapi aku belum bisa. Tidak ada yang membuatku
tertarik. Apa standarku yang terlalu tinggi? Kurasa tidak.
Anton,
El, dan Tirta selalu mengabariku jika ada perempuan yang tertarik padaku. Aku
hanya menanggapinya dengan tawa atau ejekan. Aku tidak pernah menganggap itu
serius walau aku tahu mereka tidak bohong. Dan perempuan-perempuan itu punya
popularitas yang cukup tinggi, misalkan saja, Emily si kapten cheers. Tinggi, cantik, dan populer.
Siapa yang menolak? Hanya orang bodoh yang akan menolaknya. Dan orang bodoh itu
adalah aku. Tapi aku tidak peduli. Aku memang tidak menyukainya dan tidak akan
menyukainya walau dia memohon-mohon padaku. Jahat? Ya, aku memang jahat.
Lalu
yang berikutnya, Farida, anak kepala sekolah. Semua murid mengenal dan menghormati
Farida. Suatu kehormatan besar bagi mereka bisa berteman dengan Farida atau
setidaknya bisa disapa olehnya. Dan waktu itu tiba-tiba Anton bilang dia suka
padaku. Aku hanya mengangguk singkat dan kembali menyimak lagu yang sedang
kudengar. Aku tahu Farida pintar, cantik, ramah, dan tidak sombong, tapi aku
tidak suka padanya. Secantik dan seramah apa pun dia, aku tidak suka. Aku tidak
pernah suka seseorang karena kelebihannya, tapi aku pernah kagum karena
kelebihannya. Dan kalau boleh jujur, aku kagum pada Farida karena dia bisa
ramah pada siapa pun.
Berikutnya?
Liza, anak sekelasku yang jelas-jelas menunjukkan rasa sukanya secara frontal.
Ia selalu memberiku sandwich setiap
waktu istirahat. Aku tidak protes karena dengan sandwich itu aku bisa menghemat uang jajanku. Dia juga selalu
membantuku mengerjakan tugas walau aku tahu dia juga tidak bisa. Dia selalu
mendukungku ketika pertandingan. Hanya aku, tidak yang lain. Oh, satu lagi, El
pernah bilang bahwa Liza menempeli stiker di setiap buku pelajarannya.
Tulisannya: Danny. Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Mungkin dia hanya
mengagumiku. Lagipula, aku tidak suka padanya. Dia terlalu... agresif dan
berlebihan. Yah...
Selanjutnya?
Aku bisa memberimu puluhan nama tapi aku malas menjabarkannya. Baik, kembali ke
cerita.
Handphone-ku kembali berbunyi.
From: Giena
15/8/2010 15:07
Terserah saja, besok akan kuberikan
Aku
mengangkat bahu lalu menaruh handphone-ku
di atas meja. Aku membaringkan tubuhku di kasur. Mencoba istirahat. Aku merasa
lelah sekali hari ini.
Oh,
tunggu, satu penjelasan lagi.
Gadis
ini, Giena, aku sudah mengenalnya sejak... entah sejak kapan aku mengenalnya,
aku sendiri tidak ingat. Tapi kami benar-benar memiliki kepribadian yang
berbeda. Aku menyukai hal-hal yang berhubungan dengan fisik dan perasaan.
Olahraga dan musik. Keduanya kukuasai dengan baik. Aku juga populer di sekolah
karena kedua hal itu. Tapi lain halnya dengan Giena.
Giena
ini sudah pintar sejak masih SD. Dia peraih NEM SD tertinggi di angkatan kami. Dia
juga selalu menyabot gelar juara kelas tiap semester. Bahkan juara umum! Dia
juga populer di sekolah. Kenapa? Karena sejak kelas tujuh dia selalu menyumbang
piala juara satu untuk berbagai macam bidang pelajaran, kecuali olahraga. Total
kurang lebih ada lima puluh piala yang ia sumbangkan. Bahkan ia pernah
mengikuti olimpiade sains se-Indonesia dan keluar sebagai juara kedua. Jelas-jelas
dia pintar, oh, bukan pintar, jenius. Ya, itu kata yang tepat untuknya.
Oke,
saatnya berhenti meratapi apa yang sudah terjadi. Aku akan berusaha. Berusaha
untuk tidak mengeluh karena menjadi teman kelompok orang paling pintar
sesekolah.
Huft.
*
Kereeen, merinding XD
BalasHapusmm... kenapa merinding ya?
Hapus