“Hei.”
Venla
menoleh. “Hei juga,” balasnya dengan senyum ketika melihat Kevin berdiri di
sampingnya. “Duduk di sini,” Venla menepuk tempat di sampingnya.
Kevin
mengangguk lalu duduk di samping Venla. “Kau sedang apa?”
“Merapikan
notulen hasil rapat kemarin,” jawab Venla sambil terus menulis. “Sekarang aku
sekretaris OSIS, jadi ini tugasku.”
“Kenapa tidak
mengundurkan diri?” tanya Kevin.
“Mm...,” Venla
bergumam. “Tidak, kurasa tidak. Aku masih ingin jadi pengurus OSIS.”
“Oh,” Kevin
manggut-manggut. “Tapi kau tahu sebentar lagi kita kelas tiga, kenapa....”
“Aku tahu,
aku tahu,” potong Venla sambil menatap Kevin tajam. “Aku hanya masih ingin jadi
pengurus. Berhenti menanyaiku, Kevin.”
Kevin terdiam.
Dia heran karena sebelumnya Venla tidak pernah memerintahnya dengan kasar
dengan tatapan tajam. Dan sekarang gadis itu melakukannya. Apa maksudnya?
Venla kembali
menulis. Kevin menghela nafas lalu mengambil secarik kertas dari saku
celananya. Ia meraih pensil dan menulis sesuatu di kertas tersebut. Setelah
selesai, dia membungkus sesuatu dengan kertas tersebut dan menaruhnya di
samping Venla. Sesudah itu, Kevin meninggalkan Venla yang tidak menyadari
keberadaan kertas itu di sampingnya.
Venla baru
sadar Kevin pergi ketika ia sudah menyelesaikan notulen hasil rapatnya. Ketika
ia melirik ke samping, ia menemukan secarik kertas yang bertuliskan “Untuk Venla”.
Ia mengambilnya dan menatap bungkusan itu dengan penuh rasa heran.
*
“Kau serius, Olivia?!”
“Serius,” jawab Olivia di ujung sana. “Dia sekarang ada di ruang operasi. Aku tidak
tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebaiknya kau ke sini, Venla.”
“Untuk apa
aku ke sana?” tanya Venla sambil mengerutkan kening. “Hanya memperburuk
keadaan.”
“Bahkan setelah dua tahun lebih kau mengenalnya
kau tidak juga menyadarinya?” Olivia mendesah. “Oh, ayolah, kalau kau kenal dengan Kevin jadi kau pasti tahu. Sekarang
lebih baik kau ke rumah sakit ini, cepat atau kau akan terlambat.”
“Baiklah,”
balas Venla buru-buru. “Tunggu aku... 20 menit lagi.”
Venla segera
menutup teleponnya dan bergegas mengambil kunci mobil, dompet, ponsel, sebuah
gantungan kunci serta kunci flat-nya.
Setelah memasukkan semuanya ke dalam tas kecil, ia segera keluar dari flat-nya dan berlari menuju mobilnya.
Setelah mesin
mobilnya menyala, Venla segera berangkat ke rumah sakit yang ada di pusat kota.
Olivia mengabarinya bahwa Kevin dirawat di sana. Jujur saja, belakangan ini Kevin
berlaku aneh. Dia agak pendiam dan wajahnya selalu terlihat pucat. Aktivitas
yang dilakukan Kevin tidak terlalu berat, sama saja seperti biasa, kuliah di
pagi hari dan pulang siang harinya. Sampai di rumah ia akan mengerjakan tugas
dari bosnya lalu pergi tidur di malam hari. Rutinitas itu tidak akan menguras
energi yang terlalu banyak, kecuali kalau Kevin makan hanya sedikit. Tapi Venla
tahu Kevin selalu makan banyak dan teratur. Kevin juga rajin cek ke dokter dan
selalu meminum vitaminnya. Istirahatnya juga cukup. Tapi kenapa Venla menerima
kabar bahwa Kevin dioperasi?
Sesampainya
di rumah sakit, Venla memarkir mobilnya di luar dan ia segera berlari masuk ke
dalam rumah sakit. Ketika melihat sosok Olivia sedang duduk terpekur, hatinya
langsung diselimuti rasa lega. Ia menghampiri temannya itu dan duduk di
sampingnya.
“Venla?” Olivia
kelihatan bingung. “Cepat sekali kau datang, katamu tadi 20 menit?”
“Memangnya
berapa menit?” tanya Venla heran.
“Hanya 10
menit,” jawab Olivia sambil memperlihatkan jam tangannya.
“Bagaimana
keadaan Kevin?” tanya Venla tanpa menghiraukan jawaban Olivia.
“Sama sekali
tidak baik,” Olivia menggeleng. “Aku sendiri tidak mengerti kenapa, padahal Kevin
tidak pernah bolos makan dan rajin ke dokter. Waktu istirahatnya juga cukup.”
Venla
mengangguk tanpa menoleh ke arah Olivia. Matanya sibuk menatap pintu ruang
operasi yang masih tertutup. Ia berharap pintu itu segera terbuka dan seorang
dokter mengabarkan bahwa Kevin tidak apa-apa. Itu yang diharapkan Venla. Tapi
ia sendiri tidak yakin karena perasaannya tidak enak sejak ia meninggalkan flat-nya.
Tiba-tiba
pintu menjeblak terbuka lalu seorang dokter berjas putih yang memakai kacamata menghampiri
Venla dan Olivia. Ia bertanya, “Apa kalian keluarga saudara Kevin?”
Olivia
berdiri. “Aku adiknya. Bagaimana keadaan Kevin?”
Satu hal, Olivia
adalah saudara kembar Kevin. Olivia lahir sepuluh menit setelah Kevin. Walau
kembar, wajah mereka sama sekali tidak sama. Hal yang sama dari mereka adalah
cara bicara, gaya jalan, cara berpikir, serta warna mata. Tapi perbedaan itu
tidak menjauhkan mereka. Malah membuat mereka semakin dekat.
“Saudara Kevin
baru saja selesai menjalani operasi pengangkatan, kami harap sebentar lagi dia
akan sadar,” jawab dokter tersebut.
“Operasi
pengangkatan?” tanya Olivia dan Venla bersamaan.
“Pengangkatan
tumor tentu saja, kalian tidak tahu?” dokter tersebut kebingungan. “Ada tumor
di otaknya.”
Venla dan Olivia
saling bertatapan. Mereka berdua sama sekali tidak mengetahui soal tumor yang
diderita Kevin. Kevin punya tumor? batin
Venla heran.
“Saudara Kevin
tidak pernah memberitahu kalian?” Venla dan Olivia serempak menggeleng.
Dokter
mendesah pelan. “Saya rasa... anda berdua harus masuk ke dalam.”
Venla dan Olivia
mengikuti sang dokter masuk ke dalam ruang operasi. Kondisi Kevin tampak amat
menghawatirkan. Badannya terkulai lemah di kasur. Matanya terpejam. Tampaknya
masih belum sadar.
“Saya akan
meninggalkan kalian berdua di sini,” ucap dokter tadi. “Silakan tekan tombol
merah yang ada di dinding jika perlu atau terjadi sesuatu. Selamat siang.”
Selama beberapa
saat keheningan menyelimuti ruangan tersebut. Venla hanya duduk sambil menatap
tubuh Kevin yang terbaring di kasur. Sementara Olivia sedang berpikir keras di
tempat duduknya. Olivia kelihatan gelisah. Ia terus mengubah posisi duduknya
selama beberapa menit.
“Apa yang
kaupikirkan?” tanya Venla.
“Hah?” Olivia
tampak kebingungan.
“Kau
kelihatan gelisah, ada apa?”
“Tidak, hanya
saja...,” Olivia menarik nafas. “Aku bingung bagaimana cara menyampaikan hal
ini pada orang tua kami. Kau tahu kan, mereka harus diberitahu.”
Venla hanya
mengangguk lalu kembali menatap Kevin. Tiba-tiba saja ia melihat kelopak mata Kevin
bergerak. Mungkin hanya perasaanku,
pikirnya setengah tidak yakin. Tapi sesaat kemudian Kevin membuka mata dan
menatap sekeliling. Matanya menjelajahi ruangan. Setelah itu ia menatap Venla
yang duduk di sampingnya dan bertanya, “Venla? Sedang apa kau di sini?”
“Menjengukmu,
kau baru saja selesai operasi,” jawab Venla sambil menekan tombol merah yang
ada di dinding sesuai petunjuk dokter tadi. “Operasi pengangkatan tumor,
bagaimana keadaanmu sekarang? Lebih baik?”
Mata Kevin
membelalak. “Darimana kau tahu aku punya tumor?”
“Dokter
memberitahuku dan Olivia tadi,” jawab Venla. “Kenapa kau tidak pernah bilang?”
“Tidak semua
harus kuberitahu,” balas Kevin. “Aku tahu kau temanku yang paling kupercaya,
tapi aku tidak mau menambah beban pikiranmu. Hanya Lucas yang tahu tentang
ini.”
“Kev,” sela Olivia.
“Seharusnya kau memberitahu aku serta ayah-ibu. Mereka sangat panik ketika
kukabari kau sedang menjalani operasi. Kau mau membuat mereka tambah khawatir?
Mereka kaget karena selama ini mereka tidak tahu kau menderita tumor. Kau masih
sayang pada mereka atau tidak?!”
“Olivia!” Venla
berdiri lalu mengelus punggung Olivia perlahan-lahan. “Sabar, kau tidak berhak
menuduh Kevin seperti itu.”
“Aku hanya
tidak ingin menambah kesedihan mereka,” tegas Kevin. “Mereka sudah cukup sedih
karena selama ini....”
Pintu
menjeblak terbuka. Dokter masuk bersama beberapa perawat dan menyuruh Venla
serta Olivia keluar dulu dari ruangan. Venla menurut dan mengajak Olivia
keluar.
Di luar, Olivia
menangis tersedu-sedu. Ia berkata bahwa ia tidak bermaksud menuduh Kevin
sekejam itu. Ia hanya tidak dapat mengontrol kata-kata yang keluar dari
mulutnya. Venla hanya mengangguk sambil terus menenangkan sahabatnya itu.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar