Minggu, 03 Maret 2013

Travel Writer (part 3)


                “Hei.”
                Venla menoleh. “Hei juga,” balasnya dengan senyum ketika melihat Kevin berdiri di sampingnya. “Duduk di sini,” Venla menepuk tempat di sampingnya.
                Kevin mengangguk lalu duduk di samping Venla. “Kau sedang apa?”
                “Merapikan notulen hasil rapat kemarin,” jawab Venla sambil terus menulis. “Sekarang aku sekretaris OSIS, jadi ini tugasku.”
                “Kenapa tidak mengundurkan diri?” tanya Kevin.
                “Mm...,” Venla bergumam. “Tidak, kurasa tidak. Aku masih ingin jadi pengurus OSIS.”
                “Oh,” Kevin manggut-manggut. “Tapi kau tahu sebentar lagi kita kelas tiga, kenapa....”
                “Aku tahu, aku tahu,” potong Venla sambil menatap Kevin tajam. “Aku hanya masih ingin jadi pengurus. Berhenti menanyaiku, Kevin.”
                Kevin terdiam. Dia heran karena sebelumnya Venla tidak pernah memerintahnya dengan kasar dengan tatapan tajam. Dan sekarang gadis itu melakukannya. Apa maksudnya?
                Venla kembali menulis. Kevin menghela nafas lalu mengambil secarik kertas dari saku celananya. Ia meraih pensil dan menulis sesuatu di kertas tersebut. Setelah selesai, dia membungkus sesuatu dengan kertas tersebut dan menaruhnya di samping Venla. Sesudah itu, Kevin meninggalkan Venla yang tidak menyadari keberadaan kertas itu di sampingnya.
                Venla baru sadar Kevin pergi ketika ia sudah menyelesaikan notulen hasil rapatnya. Ketika ia melirik ke samping, ia menemukan secarik kertas yang bertuliskan “Untuk Venla”. Ia mengambilnya dan menatap bungkusan itu dengan penuh rasa heran.

*

                “Kau serius, Olivia?!”
                Serius,” jawab Olivia di ujung sana. “Dia sekarang ada di ruang operasi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebaiknya kau ke sini, Venla.
                “Untuk apa aku ke sana?” tanya Venla sambil mengerutkan kening. “Hanya memperburuk keadaan.”
                Bahkan setelah dua tahun lebih kau mengenalnya kau tidak juga menyadarinya?” Olivia mendesah. “Oh, ayolah, kalau kau kenal dengan Kevin jadi kau pasti tahu. Sekarang lebih baik kau ke rumah sakit ini, cepat atau kau akan terlambat.
                “Baiklah,” balas Venla buru-buru. “Tunggu aku... 20 menit lagi.”
                Venla segera menutup teleponnya dan bergegas mengambil kunci mobil, dompet, ponsel, sebuah gantungan kunci serta kunci flat-nya. Setelah memasukkan semuanya ke dalam tas kecil, ia segera keluar dari flat-nya dan berlari menuju mobilnya.
                Setelah mesin mobilnya menyala, Venla segera berangkat ke rumah sakit yang ada di pusat kota. Olivia mengabarinya bahwa Kevin dirawat di sana. Jujur saja, belakangan ini Kevin berlaku aneh. Dia agak pendiam dan wajahnya selalu terlihat pucat. Aktivitas yang dilakukan Kevin tidak terlalu berat, sama saja seperti biasa, kuliah di pagi hari dan pulang siang harinya. Sampai di rumah ia akan mengerjakan tugas dari bosnya lalu pergi tidur di malam hari. Rutinitas itu tidak akan menguras energi yang terlalu banyak, kecuali kalau Kevin makan hanya sedikit. Tapi Venla tahu Kevin selalu makan banyak dan teratur. Kevin juga rajin cek ke dokter dan selalu meminum vitaminnya. Istirahatnya juga cukup. Tapi kenapa Venla menerima kabar bahwa Kevin dioperasi?
                Sesampainya di rumah sakit, Venla memarkir mobilnya di luar dan ia segera berlari masuk ke dalam rumah sakit. Ketika melihat sosok Olivia sedang duduk terpekur, hatinya langsung diselimuti rasa lega. Ia menghampiri temannya itu dan duduk di sampingnya.
                “Venla?” Olivia kelihatan bingung. “Cepat sekali kau datang, katamu tadi 20 menit?”
                “Memangnya berapa menit?” tanya Venla heran.
                “Hanya 10 menit,” jawab Olivia sambil memperlihatkan jam tangannya.
                “Bagaimana keadaan Kevin?” tanya Venla tanpa menghiraukan jawaban Olivia.
                “Sama sekali tidak baik,” Olivia menggeleng. “Aku sendiri tidak mengerti kenapa, padahal Kevin tidak pernah bolos makan dan rajin ke dokter. Waktu istirahatnya juga cukup.”
                Venla mengangguk tanpa menoleh ke arah Olivia. Matanya sibuk menatap pintu ruang operasi yang masih tertutup. Ia berharap pintu itu segera terbuka dan seorang dokter mengabarkan bahwa Kevin tidak apa-apa. Itu yang diharapkan Venla. Tapi ia sendiri tidak yakin karena perasaannya tidak enak sejak ia meninggalkan flat-nya.
                Tiba-tiba pintu menjeblak terbuka lalu seorang dokter berjas putih yang memakai kacamata menghampiri Venla dan Olivia. Ia bertanya, “Apa kalian keluarga saudara Kevin?”
                Olivia berdiri. “Aku adiknya. Bagaimana keadaan Kevin?”
                Satu hal, Olivia adalah saudara kembar Kevin. Olivia lahir sepuluh menit setelah Kevin. Walau kembar, wajah mereka sama sekali tidak sama. Hal yang sama dari mereka adalah cara bicara, gaya jalan, cara berpikir, serta warna mata. Tapi perbedaan itu tidak menjauhkan mereka. Malah membuat mereka semakin dekat.
                “Saudara Kevin baru saja selesai menjalani operasi pengangkatan, kami harap sebentar lagi dia akan sadar,” jawab dokter tersebut.
                “Operasi pengangkatan?” tanya Olivia dan Venla bersamaan.
                “Pengangkatan tumor tentu saja, kalian tidak tahu?” dokter tersebut kebingungan. “Ada tumor di otaknya.”
                Venla dan Olivia saling bertatapan. Mereka berdua sama sekali tidak mengetahui soal tumor yang diderita Kevin. Kevin punya tumor? batin Venla heran.
                “Saudara Kevin tidak pernah memberitahu kalian?” Venla dan Olivia serempak menggeleng.
                Dokter mendesah pelan. “Saya rasa... anda berdua harus masuk ke dalam.”
                Venla dan Olivia mengikuti sang dokter masuk ke dalam ruang operasi. Kondisi Kevin tampak amat menghawatirkan. Badannya terkulai lemah di kasur. Matanya terpejam. Tampaknya masih belum sadar.
                “Saya akan meninggalkan kalian berdua di sini,” ucap dokter tadi. “Silakan tekan tombol merah yang ada di dinding jika perlu atau terjadi sesuatu. Selamat siang.”
                Selama beberapa saat keheningan menyelimuti ruangan tersebut. Venla hanya duduk sambil menatap tubuh Kevin yang terbaring di kasur. Sementara Olivia sedang berpikir keras di tempat duduknya. Olivia kelihatan gelisah. Ia terus mengubah posisi duduknya selama beberapa menit.
                “Apa yang kaupikirkan?” tanya Venla.
                “Hah?” Olivia tampak kebingungan.
                “Kau kelihatan gelisah, ada apa?”
                “Tidak, hanya saja...,” Olivia menarik nafas. “Aku bingung bagaimana cara menyampaikan hal ini pada orang tua kami. Kau tahu kan, mereka harus diberitahu.”
                Venla hanya mengangguk lalu kembali menatap Kevin. Tiba-tiba saja ia melihat kelopak mata Kevin bergerak. Mungkin hanya perasaanku, pikirnya setengah tidak yakin. Tapi sesaat kemudian Kevin membuka mata dan menatap sekeliling. Matanya menjelajahi ruangan. Setelah itu ia menatap Venla yang duduk di sampingnya dan bertanya, “Venla? Sedang apa kau di sini?”
                “Menjengukmu, kau baru saja selesai operasi,” jawab Venla sambil menekan tombol merah yang ada di dinding sesuai petunjuk dokter tadi. “Operasi pengangkatan tumor, bagaimana keadaanmu sekarang? Lebih baik?”
                Mata Kevin membelalak. “Darimana kau tahu aku punya tumor?”
                “Dokter memberitahuku dan Olivia tadi,” jawab Venla. “Kenapa kau tidak pernah bilang?”
                “Tidak semua harus kuberitahu,” balas Kevin. “Aku tahu kau temanku yang paling kupercaya, tapi aku tidak mau menambah beban pikiranmu. Hanya Lucas yang tahu tentang ini.”
                “Kev,” sela Olivia. “Seharusnya kau memberitahu aku serta ayah-ibu. Mereka sangat panik ketika kukabari kau sedang menjalani operasi. Kau mau membuat mereka tambah khawatir? Mereka kaget karena selama ini mereka tidak tahu kau menderita tumor. Kau masih sayang pada mereka atau tidak?!”
                “Olivia!” Venla berdiri lalu mengelus punggung Olivia perlahan-lahan. “Sabar, kau tidak berhak menuduh Kevin seperti itu.”
                “Aku hanya tidak ingin menambah kesedihan mereka,” tegas Kevin. “Mereka sudah cukup sedih karena selama ini....”
                Pintu menjeblak terbuka. Dokter masuk bersama beberapa perawat dan menyuruh Venla serta Olivia keluar dulu dari ruangan. Venla menurut dan mengajak Olivia keluar.
                Di luar, Olivia menangis tersedu-sedu. Ia berkata bahwa ia tidak bermaksud menuduh Kevin sekejam itu. Ia hanya tidak dapat mengontrol kata-kata yang keluar dari mulutnya. Venla hanya mengangguk sambil terus menenangkan sahabatnya itu.

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar