Rabu, 26 Desember 2012

Lorra (part 3)


Ayahku, Xinus, menghampiriku lalu duduk di sampingku. “Kau tentu tahu A8 untuk meeting perusahaan ayah, kan? Jangan sampai kau salah masuk ruangan.”

“Ta-tapi tadi.” Aku menunjuk ke dalam ruangan. “Bukankah ada Tiaco?”

Ayah mengerutkan dahinya. “Tidak ada. Mungkin dia terlihat mirip karena kau melihatnya dalam kondisi panik.” Ayah berdiri lalu mengulurkan tangannya. “Ayah yakin kau tidak ada urusannya dengan ruangan ini, Flavy. Sebenarnya kau harus ada di ruangan nomor berapa?”

“Sebentar.” Aku membuka fono-ku. Ruang A5. Oke, kenapa aku bisa berpikir ruang A8?

“A5,” ucapku pelan. “Baiklah, yah, aku akan ke sana sekarang.”

Ayah mengangguk. “Sampaikan salamku pada Tiaco. Oh, ya. Jangan sampai kau salah masuk ruangan lagi. Oke?”

Aku mendengus pelan lalu tertawa. “Tidak akan, baiklah, aku pergi sekarang. Sampai jumpa nanti malam, yah.”

“Ya. Jangan lupa ruanganmu lagi.”

Aku tertawa kecil, melambaikan tangan, lalu buru-buru berlari menuju ruang A5 yang jaraknya sekitar 3 ruangan dari A8. Aku mendesah kesal. Kenapa aku bisa lupa kalau meeting-ku ada di ruang A5?

“Flavy! Tunggu!”

Aku menghentikan langkahku lalu menoleh. “Purpo? Bukankah kau seharusnya ada di dalam?”

Purpo menghentikan langkahnya lalu memasang senyum manis yang semanis-manisnya. “Kau tahu aku sering sekali bangun terlambat,” katanya lalu tertawa. “Apa sudah mulai?”

Aku mengintip di jendela ruangan lalu mengerutkan dahi. “Jangan harap. Bahkan belum ada orang di dalam sini.”

Purpo mengangkat sebelah alisnya. “Oke, kita bisa jadi orang yang pertama datang. Ayo duduk di dalam.”

*

“Huft,” desahku pelan sambil menutup tasku. “Itu yang terakhir, tinggal membawa fono dan selesai sudah urusan ini.”

Veeri tertawa kecil. “Aku benar-benar ingin ikut, ke Bandung, bersamamu dan Purpo.”

Aku menghela nafas. “Kau, sebaiknya tunggu di sini dan pelajarilah ilmu kebumian apa pun.”

Veeri mendengus. “Payah. Kalau saja ibuku mengizinkan, aku akan ikut denganmu mempelajari ilmu hewan.”

“Kalau kau ikut mempelajari ilmu hewan, tentu saja kau tidak akan bersamaku di Bandung, kan?”

“Ah, ya, benar.” Veeri menggelengkan kepalanya. “Ya sudah, aku lelah memaksa. Kau pergi ke sana bersama siapa selain Purpo?”

Aku berpikir sebentar. “Tentu saja jumlahnya sangat banyak, lebih dari 1000 Modra, kurasa. Yang dikirim ke Indonesia ada sekitar 100 Modra. Aku bertugas di Bandung bersama Purpo, Iger, Frax, dan Ruber, kalau tidak salah.”

“Wah, asyiknya,” desah Veeri. “Sayang sekali aku tidak bisa ikut. Oya, apa ayahku juga di Indonesia? Atau di negara lain?”

“Mm... tidak, karena dia pimpinannya, jadi tugasnya berkeliling dari satu kota ke kota lainnya, memeriksa pekerjaan setiap tim, supaya tidak berantakan. Yang pasti dia akan sangat sibuk.”

“Dan jarang pulang ke Lorra?”

Aku mengangkat alis. “Apa aku bilang aku akan sering pulang ke Lorra?”

“Jangan bilang kau tidak akan pulang.”

“Tentu saja tidak!” Aku tertawa kecil. “Tapi aku tidak akan pulang sampai penelitianku selesai. Begitu pula yang lain, terutama Tiaco. Semua akan sangat sangat sangaaaat sibuk. Kau harus bersabar selama enam bulan, oke, Veeri?”

Veeri mendesah kesal.

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar