Aku, Saara
Mannerheim, hanya seorang anak SMA yang memiliki kehidupan biasa dan normal.
Aku suka bersosialisasi, tapi aku juga suka merenung sendirian. Aku adalah
orang yang tidak mudah mencurahkan isi hatiku pada orang lain. Dapat dibilang,
aku orang yang tertutup. Tapi rasanya berbeda ketika aku bertemu dengan orang
itu. Namanya Iiro Isokoski.
Walau baru
mengenalnya, tapi aku merasa sudah mengenalnya sejak lama. Iiro Isokoski adalah
orang yang misterius dan sulit didekati. Ia juga anti-sosial sehingga jaringan
pertemanannya sempit. Tapi sekali mendekatinya, orang-orang akan tahu bahwa dia
orang yang baik hati dan periang. Ia pintar meramaikan suasana.
Awalnya kami
tidak saling mengenal. Tim Mading adalah titik pertemuan kami. Sebenarnya wajar
jika kami saling tidak kenal, aku berada di kelas X-2 dan dia di X-7. Tapi
berkat tim mading, aku jadi mengenalnya dan mengetahui rahasia besarnya yang ia
pendam selama bertahun-tahun.
*
Aku masuk ke ruang Lukio Journalist Team. Aku berniat mendaftarkan diri di Tim Mading. Di
dalam, seorang laki-laki berkacamata menghampiriku.
“Mau mendaftar?” tanyanya. “Aku Leevi Halkoaho dari Tim
Mading.”
Aku mengangguk. “Saara Mannerheim.”
“Mendaftar di tim mading, bukan?” aku mengangguk.
“Silakan duduk dulu di situ.” Leevi menunjuk kursi kosong dan masuk ke sebuah
pintu dekat meja informasi.
Aku duduk di samping seorang laki-laki. Aku
menatapnya dan berkata, “Saara Mannerheim.”
Lelaki itu hanya mengangguk.
“Siapa namamu?” tanyaku.
Lelaki itu tidak menjawab. Ia justru mengambil
secarik kertas dari saku jaket hitamnya lalu mengambil pulpen dari meja di
samping kursi dan menulis sesuatu di kertas tadi. Setelah selesai, ia
menyodorkan kertas itu padaku. Iiro Isokoski, tulisnya.
“Kau juga mendaftar ke Tim Mading?” Iiro mengangguk
sebagai jawaban.
Aku mendesah pelan. “Kenapa kau tidak mau bicara?”
Iiro hanya tersenyum misterius.
Leevi keluar dari pintu dekat meja informasi tadi. “Kalian
berdua, masuk ke sini.”
Aku beranjak dari duduk dan segera masuk ke ruangan
yang ditunjuk Leevi. Iiro mengikutiku. Di dalam ada meja bundar yang
dikelilingi sepuluh kursi. Tujuh kursi sudah terisi oleh tiga orang perempuan
dan empat orang laki-laki, berarti hanya tiga yang tersisa. Aku duduk di
samping seorang perempuan berambut coklat. Iiro duduk di sampingku.
“Selamat datang di Tim Mading!” sambut seorang
perempuan berambut oranye. “Aku Olga Johanson, ketua Tim Mading. Tolong
perkenalkan diri kalian.” Dia menunjuk aku dan Iiro.
“Saara Mannerheim,” ujarku.
“Iiro Isokoski,” ujar Iiro pelan.
“Senang menerima kalian di sini, Saara, Iiro,” Olga
tersenyum. “Aku akan perkenalkan anggota Tim Mading yang lain pada kalian. Ini Juho
Rajala, lalu Aleksi Numminen, Kai Filatov, Helena Oksanen, itu Leevi Halkoaho,
Eveliina Latvala, dan ini Jaakko Ikonen.”
“Baik, kita akan mulai rapatnya,” lanjut Olga. “Tema artikel
mading yang harus kita buat bulan ini adalah tentang Desa Ruka. Lalu bulan ini
akan kita adakan lomba membuat komik 5 halaman A4, kerja sama dengan Comic for Fun. Lalu ada usul dari Elsa
Halkovaara, X-2, tokoh untuk bulan ini sebaiknya Walt Disney karena dia banyak
dikenal. Bagian game baiknya buat
teka-teki silang, lalu kuliner masukkan resep kue pai apel. Masukkan juga satu
berita internasional. Fakta unik bulan ini telepon. Ada usul lain?”
Semua menggeleng.
“Baik, sekarang semuanya boleh kembali ke kelas
kecuali Saara dan Iiro.”
Satu per satu anggota meninggalkan ruang rapat. Sisanya
hanya aku, Iiro, dan Olga.
“Saara, aku
tahu kau jago menulis, jadi kau editor.
Iiro, aku tahu kau jago soal potret-memotret, kau fotografer. Kita mulai kerja
besok.”
Aku dan Iiro terbelalak.
“Editor?”
tanyaku meyakinkan.
“Ya, ini kartu pengenal kalian. Sekarang kalian boleh
kembali ke kelas.”
Aku hanya bisa mendesah.
*
Keesokan harinya, aku datang ke ruang Journalist Team pagi sekali. Bel
berbunyi pukul delapan dan aku sampai di sekolah pukul tujuh. Hari ini aku
merasa harus banyak belajar sehingga datang lebih pagi untuk mempelajari
mading-mading lama. Aku tidak mau jadi editor
yang payah. Jika mereka sudah memilihku, berarti mereka memercayaiku.
Pintu ruangan tidak dikunci ketika aku membukanya. Aku
masuk dan tidak menemukan siapa pun di dalam. Tapi aku tidak peduli. Aku
memasuki ruang komputer dan menemukan sebuah kamera SLR terletak di atas meja.
Aku tidak tahu itu milik siapa dan untuk apa. Aku memutuskan untuk tidak
mengusik kamera itu tapi entah kenapa aku melanggar keputusanku sendiri. Aku
menaruh tasku di meja lalu menghampiri kamera itu dan melihat-lihat isinya. Hanya
ada empat belas foto. Aku memang tidak begitu mengerti fotografi, tapi bukan berarti
aku tidak tahu foto bagus. Semua foto yang ada di dalam kamera itu menurutku
sangat bagus dan aku sangat menyukainya.
Ketika aku sedang asyik melihat-lihat foto di kamera
itu, seseorang membuka pintu ruang komputer. Aku tersentak lalu menoleh ke arah
pintu. Rupanya Iiro.
“Hai,” sapaku dengan senyum. Bukannya membalas
sapaanku, dia malah menatap tajam benda yang sedang kupegang.
“Ada apa dengan kamera ini?” tanyaku heran sambil
memerhatikan kamera SLR tadi.
Iiro merebut kamera itu dari tanganku. Ia memainkan
jari-jarinya di atas tombol-tombol kamera tersebut lalu menatapku dan berkata,
“Kau melihatnya, ya?”
“Hah?”
“Kau melihat foto-foto ini?”
“Ya,” aku mengangkat alis. “Memangnya kenapa?
Foto-foto itu bagus.”
Dia mengerang pelan. Dia bahkan tidak menjawab
pertanyaanku.
“Hei, aku bertanya.”
Dia tidak menjawab lagi.
“Hei!”
Dia hanya diam seakan aku tidak ada.
“Argh!” aku meraih tasku dan pergi meninggalkan ruang
komputer.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar