Jumat, 01 Februari 2013

Books and Camera... (part 1)


                Aku, Saara Mannerheim, hanya seorang anak SMA yang memiliki kehidupan biasa dan normal. Aku suka bersosialisasi, tapi aku juga suka merenung sendirian. Aku adalah orang yang tidak mudah mencurahkan isi hatiku pada orang lain. Dapat dibilang, aku orang yang tertutup. Tapi rasanya berbeda ketika aku bertemu dengan orang itu. Namanya Iiro Isokoski.
                Walau baru mengenalnya, tapi aku merasa sudah mengenalnya sejak lama. Iiro Isokoski adalah orang yang misterius dan sulit didekati. Ia juga anti-sosial sehingga jaringan pertemanannya sempit. Tapi sekali mendekatinya, orang-orang akan tahu bahwa dia orang yang baik hati dan periang. Ia pintar meramaikan suasana.
                Awalnya kami tidak saling mengenal. Tim Mading adalah titik pertemuan kami. Sebenarnya wajar jika kami saling tidak kenal, aku berada di kelas X-2 dan dia di X-7. Tapi berkat tim mading, aku jadi mengenalnya dan mengetahui rahasia besarnya yang ia pendam selama bertahun-tahun.

*

                Aku masuk ke ruang Lukio Journalist Team. Aku berniat mendaftarkan diri di Tim Mading. Di dalam, seorang laki-laki berkacamata menghampiriku.
                “Mau mendaftar?” tanyanya. “Aku Leevi Halkoaho dari Tim Mading.”
                Aku mengangguk. “Saara Mannerheim.”
                “Mendaftar di tim mading, bukan?” aku mengangguk. “Silakan duduk dulu di situ.” Leevi menunjuk kursi kosong dan masuk ke sebuah pintu dekat meja informasi.
                Aku duduk di samping seorang laki-laki. Aku menatapnya dan berkata, “Saara Mannerheim.”
                Lelaki itu hanya mengangguk.
                “Siapa namamu?” tanyaku.
                Lelaki itu tidak menjawab. Ia justru mengambil secarik kertas dari saku jaket hitamnya lalu mengambil pulpen dari meja di samping kursi dan menulis sesuatu di kertas tadi. Setelah selesai, ia menyodorkan kertas itu padaku. Iiro Isokoski, tulisnya.
                “Kau juga mendaftar ke Tim Mading?” Iiro mengangguk sebagai jawaban.
                Aku mendesah pelan. “Kenapa kau tidak mau bicara?” Iiro hanya tersenyum misterius.
                Leevi keluar dari pintu dekat meja informasi tadi. “Kalian berdua, masuk ke sini.”
                Aku beranjak dari duduk dan segera masuk ke ruangan yang ditunjuk Leevi. Iiro mengikutiku. Di dalam ada meja bundar yang dikelilingi sepuluh kursi. Tujuh kursi sudah terisi oleh tiga orang perempuan dan empat orang laki-laki, berarti hanya tiga yang tersisa. Aku duduk di samping seorang perempuan berambut coklat. Iiro duduk di sampingku.
                “Selamat datang di Tim Mading!” sambut seorang perempuan berambut oranye. “Aku Olga Johanson, ketua Tim Mading. Tolong perkenalkan diri kalian.” Dia menunjuk aku dan Iiro.
                “Saara Mannerheim,” ujarku.
                “Iiro Isokoski,” ujar Iiro pelan.
                “Senang menerima kalian di sini, Saara, Iiro,” Olga tersenyum. “Aku akan perkenalkan anggota Tim Mading yang lain pada kalian. Ini Juho Rajala, lalu Aleksi Numminen, Kai Filatov, Helena Oksanen, itu Leevi Halkoaho, Eveliina Latvala, dan ini Jaakko Ikonen.”
                “Baik, kita akan mulai rapatnya,” lanjut Olga. “Tema artikel mading yang harus kita buat bulan ini adalah tentang Desa Ruka. Lalu bulan ini akan kita adakan lomba membuat komik 5 halaman A4, kerja sama dengan Comic for Fun. Lalu ada usul dari Elsa Halkovaara, X-2, tokoh untuk bulan ini sebaiknya Walt Disney karena dia banyak dikenal. Bagian game baiknya buat teka-teki silang, lalu kuliner masukkan resep kue pai apel. Masukkan juga satu berita internasional. Fakta unik bulan ini telepon. Ada usul lain?”
                Semua menggeleng.
                “Baik, sekarang semuanya boleh kembali ke kelas kecuali Saara dan Iiro.”
                Satu per satu anggota meninggalkan ruang rapat. Sisanya hanya aku, Iiro, dan Olga.
                 “Saara, aku tahu kau jago menulis, jadi kau editor. Iiro, aku tahu kau jago soal potret-memotret, kau fotografer. Kita mulai kerja besok.”
                Aku dan Iiro terbelalak.
                Editor?” tanyaku meyakinkan.
                “Ya, ini kartu pengenal kalian. Sekarang kalian boleh kembali ke kelas.”
                Aku hanya bisa mendesah.

*

                Keesokan harinya, aku datang ke ruang Journalist Team pagi sekali. Bel berbunyi pukul delapan dan aku sampai di sekolah pukul tujuh. Hari ini aku merasa harus banyak belajar sehingga datang lebih pagi untuk mempelajari mading-mading lama. Aku tidak mau jadi editor yang payah. Jika mereka sudah memilihku, berarti mereka memercayaiku.
                Pintu ruangan tidak dikunci ketika aku membukanya. Aku masuk dan tidak menemukan siapa pun di dalam. Tapi aku tidak peduli. Aku memasuki ruang komputer dan menemukan sebuah kamera SLR terletak di atas meja. Aku tidak tahu itu milik siapa dan untuk apa. Aku memutuskan untuk tidak mengusik kamera itu tapi entah kenapa aku melanggar keputusanku sendiri. Aku menaruh tasku di meja lalu menghampiri kamera itu dan melihat-lihat isinya. Hanya ada empat belas foto. Aku memang tidak begitu mengerti fotografi, tapi bukan berarti aku tidak tahu foto bagus. Semua foto yang ada di dalam kamera itu menurutku sangat bagus dan aku sangat menyukainya.
                Ketika aku sedang asyik melihat-lihat foto di kamera itu, seseorang membuka pintu ruang komputer. Aku tersentak lalu menoleh ke arah pintu. Rupanya Iiro.
                “Hai,” sapaku dengan senyum. Bukannya membalas sapaanku, dia malah menatap tajam benda yang sedang kupegang.
                “Ada apa dengan kamera ini?” tanyaku heran sambil memerhatikan kamera SLR tadi.
                Iiro merebut kamera itu dari tanganku. Ia memainkan jari-jarinya di atas tombol-tombol kamera tersebut lalu menatapku dan berkata, “Kau melihatnya, ya?”
                “Hah?”
                “Kau melihat foto-foto ini?”
                “Ya,” aku mengangkat alis. “Memangnya kenapa? Foto-foto itu bagus.”
                Dia mengerang pelan. Dia bahkan tidak menjawab pertanyaanku.
                “Hei, aku bertanya.”
                Dia tidak menjawab lagi.
                “Hei!”
                Dia hanya diam seakan aku tidak ada.
                “Argh!” aku meraih tasku dan pergi meninggalkan ruang komputer.

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar