Venla pertama
kali bertemu dengan Kevin ketika mereka SMA. Saat itu Venla belum mengenal Kevin.
Bagaimana tidak? Venla adalah salah satu remaja perempuan terpopuler di sekolah
yang aktif dalam berbagai kegiatan OSIS serta memiliki otak encer dan wajah
menarik. Sedangkan Kevin adalah seorang remaja laki-laki yang berotak encer
tapi kurang pergaulan. Venla baru mengenalnya saat mereka kelas XI. Saat itu ia
terpaksa pulang terlambat karena rapat OSIS yang begitu menguras waktu.
Sesampainya di kelas ia melihat seorang laki-laki yang duduk sambil membaca
buku tebal. Venla mengangkat alis. Ia tidak menyangka dapat menemukan seseorang
di sekolah pada pukul enam sore begini. Padahal sekolah mereka sudah bubar
sejak empat jam yang lalu.
“Sedang apa
kau di sini?” tanya Venla setengah berteriak. Dia memang tidak mengenal laki-laki
itu tapi rasa penasarannya tidak dapat ditahan.
Anak
laki-laki itu tidak menjawab.
“Hei!” seru Venla.
“Aku bicara padamu!” Venla menepuk pundak laki-laki itu.
“Kau bicara
padaku?” tanya laki-laki itu.
“Tentu saja!
Kau pikir siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini,” jawab Venla agak kesal.
“Oh,”
laki-laki itu memandang berkeliling. “Kau tanya apa tadi?”
“Sedang apa
kau di sini pada jam sekarang?” ulang Venla. “Kau tahu, sekolah sudah bubar
empat jam yang lalu.”
“Kau sendiri
sedang apa?” laki-laki itu balik bertanya.
“Begini,” Venla
menarik nafas. “Kau tahu aku siapa?”
“Venla, anak
OSIS, ranking satu di XI-3, paling
populer di sekolah. Ada yang kurang atau salah?”
Venla
mengangkat alis. Tidak menyangka laki-laki ini mengenalinya. “Kita... sekelas?”
“Sudah kuduga
kau tidak mengenaliku,” laki-laki itu tersenyum. “Ya, aku ranking dua di XI-3, mungkin kau tahu?”
“Maaf, aku
tidak begitu mengenali anak-anak sekelas kecuali sesama OSIS atau dia populer,”
Venla memiringkan kepalanya. “Kau bukan keduanya, ya?”
Laki-laki itu
mengangguk singkat. “Namaku Kevin.”
“Senang
berkenalan denganmu,” Venla mengulurkan tangannya yang disambut dengan uluran
tangan Kevin. “Ehm, kau tidak pulang?”
Kevin
mengangkat bahu. “Aku dapat pulang kapan saja, orang tuaku tidak peduli,”
jawabnya. “Sebenarnya aku menunggu.”
“Menunggu siapa?” tanya Venla
heran.
“Menunggu
seseorang yang sudah pasti tidak dijemput dan pulang terlambat akibat rapat
OSIS,” jawab Kevin misterius. “Oh, dan dia perempuan.”
“Jangan bilang
kau menyindirku,” ujar Venla cepat sambil bersedekap.
“Aku tidak
menyindirmu,” Kevin tersenyum. “Kau kedinginan? Lebih baik cepat pulang. Mau
kuantar? Aku tidak akan menculikmu, kok.”
Venla heran
kenapa Kevin seakan dapat membaca pikirannya. “Terserah saja, asal kau
benar-benar membawaku pulang.”
“Tidak
masalah,” Kevin mengangkat bahu. “Oh, karena kau kedinginan, pakai saja ini
dulu.”
Venla
tersenyum menerima jaket yang dipinjamkan Kevin. “Terima kasih.”
“Ya,” Kevin
mengangguk. “Ayo.”
Venla
mengangguk dan mengikuti Kevin yang berjalan keluar kelas.
*
Setelah Kevin
mengantarnya pulang, mereka jadi lebih akrab. Ketika dua minggu sudah berlalu, Venla
tidak melihat Kevin di kelas. Ia menggaruk kepalanya. Ia ingin tahu kemana Kevin
tapi tidak tahu siapa yang dapat ditanya. Ia tidak tahu siapa teman dekat Kevin
karena tidak pernah mau berurusan dengan orang-orang yang tidak populer. Tapi
kali ini dia menyesali keputusannya.
Rupanya ia
salah. Kevin ada di kelas hari ini. Hanya saja dia tidak ikut mengobrol dengan
yang lain. Dia sibuk membaca buku tebal yang sama seperti waktu itu. Bahkan ia
tidak menyadari ketika Venla menghampirinya.
“Baca apa?”
tanya Venla sambil duduk di samping Kevin.
Kevin
terlonjak dan menutup bukunya. “Eh? Venla?” ia terbatuk. “Tidak sedang
apa-apa.”
Venla
terkikik melihat kegegabahan Kevin. “Aku tidak buta, tahu,” ujarnya. “Aku lihat
kau sedang membaca buku itu. Kau bahkan tidak menyadari kedatanganku, kan?”
Kevin
terbatuk lalu diam.
“Hei, aku
hanya ingin tahu,” ucap Venla. “Aku tidak akan menertawaimu.”
Kevin
menghela nafas lalu menyenderkan kepalanya ke sandaran kursi. “Aku...,” Kevin diam
sejenak. “Sebenarnya bercita-cita menjadi travel
writer.”
Venla
mengangkat alis. Tidak merasa ada yang lucu pada percakapan ini.
“Walau aku
tahu,” Kevin tertawa getir. “Kalau aku payah soal menulis.”
“Menulis?” Venla
mengangkat alis. Kali ini dia benar-benar bingung karena tidak tahu apa itu travel writer.
“Kau tidak
tahu apa itu travel writer?” Kevin
terlihat kaget.
Venla menggeleng
pelan.
Kevin
menghela nafas. “Travel writer itu
fotografer yang menulis. Mengerti? Jadi tulisannya dapat dimuat di koran maupun
majalah. Terserah fotografer itu.”
Venla
terpekur sejenak. “Ok, aku mengerti.”
“Tapi...,” Kevin
tampak berpikir. “Kurasa aku tidak dapat menjadi travel writer, kau tahu? Aku hanya bagus dalam memotret, tidak pada
menulis.”
“Ooh,” Venla
mengangguk paham. “Tapi kurasa tidak ada salahnya mengejar cita-citamu itu. Aku
yakin kau bisa menggapainya.”
“Bagaimana
bisa?” Kevin mengangkat alis. “Berapa tahun pun aku belajar, hasil tulisanku
tetap buruk.”
“Aku bisa
menulis,” ucap Venla tanpa sadar.
“Apa
maksudmu?” tanya Kevin.
“Yah,” Venla
mengangkat bahu. “Kau tahu aku tidak buruk-buruk amat dalam menulis, bagaimana
kalau kau travel dan aku writer-nya?” kemudian ia tertawa.
“Kau tahu,
itu usul yang tidak buruk,” Kevin tersenyum lalu tertawa. “Berjanji saja padaku
kau akan benar-benar menjadi writer-ku
kelak.”
Venla mengangkat
alis. “Janji,” jawabnya sambil mengacungkan jari kelingking. Kevin tersenyum
kemudian mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Venla. “Janji jari
kelingking,” ujar mereka bersama. Lalu mereka tertawa.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar