Kamis, 07 Februari 2013

Travel Writer (part 2)


                Venla pertama kali bertemu dengan Kevin ketika mereka SMA. Saat itu Venla belum mengenal Kevin. Bagaimana tidak? Venla adalah salah satu remaja perempuan terpopuler di sekolah yang aktif dalam berbagai kegiatan OSIS serta memiliki otak encer dan wajah menarik. Sedangkan Kevin adalah seorang remaja laki-laki yang berotak encer tapi kurang pergaulan. Venla baru mengenalnya saat mereka kelas XI. Saat itu ia terpaksa pulang terlambat karena rapat OSIS yang begitu menguras waktu. Sesampainya di kelas ia melihat seorang laki-laki yang duduk sambil membaca buku tebal. Venla mengangkat alis. Ia tidak menyangka dapat menemukan seseorang di sekolah pada pukul enam sore begini. Padahal sekolah mereka sudah bubar sejak empat jam yang lalu.
                “Sedang apa kau di sini?” tanya Venla setengah berteriak. Dia memang tidak mengenal laki-laki itu tapi rasa penasarannya tidak dapat ditahan.
                Anak laki-laki itu tidak menjawab.
                “Hei!” seru Venla. “Aku bicara padamu!” Venla menepuk pundak laki-laki itu.
                “Kau bicara padaku?” tanya laki-laki itu.
                “Tentu saja! Kau pikir siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini,” jawab Venla agak kesal.
                “Oh,” laki-laki itu memandang berkeliling. “Kau tanya apa tadi?”
                “Sedang apa kau di sini pada jam sekarang?” ulang Venla. “Kau tahu, sekolah sudah bubar empat jam yang lalu.”
                “Kau sendiri sedang apa?” laki-laki itu balik bertanya.
                “Begini,” Venla menarik nafas. “Kau tahu aku siapa?”
                “Venla, anak OSIS, ranking satu di XI-3, paling populer di sekolah. Ada yang kurang atau salah?”
                Venla mengangkat alis. Tidak menyangka laki-laki ini mengenalinya. “Kita... sekelas?”
                “Sudah kuduga kau tidak mengenaliku,” laki-laki itu tersenyum. “Ya, aku ranking dua di XI-3, mungkin kau tahu?”
                “Maaf, aku tidak begitu mengenali anak-anak sekelas kecuali sesama OSIS atau dia populer,” Venla memiringkan kepalanya. “Kau bukan keduanya, ya?”
                Laki-laki itu mengangguk singkat. “Namaku Kevin.”
                “Senang berkenalan denganmu,” Venla mengulurkan tangannya yang disambut dengan uluran tangan Kevin. “Ehm, kau tidak pulang?”
                Kevin mengangkat bahu. “Aku dapat pulang kapan saja, orang tuaku tidak peduli,” jawabnya. “Sebenarnya aku menunggu.”
                “Menunggu siapa?” tanya Venla heran.
                “Menunggu seseorang yang sudah pasti tidak dijemput dan pulang terlambat akibat rapat OSIS,” jawab Kevin misterius. “Oh, dan dia perempuan.”
                “Jangan bilang kau menyindirku,” ujar Venla cepat sambil bersedekap.
                “Aku tidak menyindirmu,” Kevin tersenyum. “Kau kedinginan? Lebih baik cepat pulang. Mau kuantar? Aku tidak akan menculikmu, kok.”
                Venla heran kenapa Kevin seakan dapat membaca pikirannya. “Terserah saja, asal kau benar-benar membawaku pulang.”
                “Tidak masalah,” Kevin mengangkat bahu. “Oh, karena kau kedinginan, pakai saja ini dulu.”
                Venla tersenyum menerima jaket yang dipinjamkan Kevin. “Terima kasih.”
                “Ya,” Kevin mengangguk. “Ayo.”
                Venla mengangguk dan mengikuti Kevin yang berjalan keluar kelas.

*

                Setelah Kevin mengantarnya pulang, mereka jadi lebih akrab. Ketika dua minggu sudah berlalu, Venla tidak melihat Kevin di kelas. Ia menggaruk kepalanya. Ia ingin tahu kemana Kevin tapi tidak tahu siapa yang dapat ditanya. Ia tidak tahu siapa teman dekat Kevin karena tidak pernah mau berurusan dengan orang-orang yang tidak populer. Tapi kali ini dia menyesali keputusannya.
                Rupanya ia salah. Kevin ada di kelas hari ini. Hanya saja dia tidak ikut mengobrol dengan yang lain. Dia sibuk membaca buku tebal yang sama seperti waktu itu. Bahkan ia tidak menyadari ketika Venla menghampirinya.
                “Baca apa?” tanya Venla sambil duduk di samping Kevin.
                Kevin terlonjak dan menutup bukunya. “Eh? Venla?” ia terbatuk. “Tidak sedang apa-apa.”
                Venla terkikik melihat kegegabahan Kevin. “Aku tidak buta, tahu,” ujarnya. “Aku lihat kau sedang membaca buku itu. Kau bahkan tidak menyadari kedatanganku, kan?”
                Kevin terbatuk lalu diam.
                “Hei, aku hanya ingin tahu,” ucap Venla. “Aku tidak akan menertawaimu.”
                Kevin menghela nafas lalu menyenderkan kepalanya ke sandaran kursi. “Aku...,” Kevin diam sejenak. “Sebenarnya bercita-cita menjadi travel writer.
                Venla mengangkat alis. Tidak merasa ada yang lucu pada percakapan ini.
                “Walau aku tahu,” Kevin tertawa getir. “Kalau aku payah soal menulis.”
                “Menulis?” Venla mengangkat alis. Kali ini dia benar-benar bingung karena tidak tahu apa itu travel writer.
                “Kau tidak tahu apa itu travel writer?” Kevin terlihat kaget.
                Venla menggeleng pelan.
                Kevin menghela nafas. “Travel writer itu fotografer yang menulis. Mengerti? Jadi tulisannya dapat dimuat di koran maupun majalah. Terserah fotografer itu.”
                Venla terpekur sejenak. “Ok, aku mengerti.”
                “Tapi...,” Kevin tampak berpikir. “Kurasa aku tidak dapat menjadi travel writer, kau tahu? Aku hanya bagus dalam memotret, tidak pada menulis.”
                “Ooh,” Venla mengangguk paham. “Tapi kurasa tidak ada salahnya mengejar cita-citamu itu. Aku yakin kau bisa menggapainya.”
                “Bagaimana bisa?” Kevin mengangkat alis. “Berapa tahun pun aku belajar, hasil tulisanku tetap buruk.”
                “Aku bisa menulis,” ucap Venla tanpa sadar.
                “Apa maksudmu?” tanya Kevin.
                “Yah,” Venla mengangkat bahu. “Kau tahu aku tidak buruk-buruk amat dalam menulis, bagaimana kalau kau travel dan aku writer-nya?” kemudian ia tertawa.
                “Kau tahu, itu usul yang tidak buruk,” Kevin tersenyum lalu tertawa. “Berjanji saja padaku kau akan benar-benar menjadi writer-ku kelak.”
                Venla mengangkat alis. “Janji,” jawabnya sambil mengacungkan jari kelingking. Kevin tersenyum kemudian mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Venla. “Janji jari kelingking,” ujar mereka bersama. Lalu mereka tertawa.

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar