Ia
duduk di sudut kantin sambil bertopang dagu. Memandang ke segala arah seakan
mencari seseorang atau sesuatu. Saat menemukan apa yang dicarinya, ia
tersenyum. Itu dia... batinnya
senang. Orang itu sedang tertawa-tawa bersama ketiga temannya. Apa yang mereka bicarakan? batinnya
lagi.
Tapi
mendadak ia tidak memedulikan pertanyaannya tadi. Apakah obrolan itu harus ia
ketahui? Pentingkah obrolan itu baginya? Apakah obrolan itu akan terasa
menyenangkan baginya?
Hanya
ada satu jawaban.
Tidak.
Ia
yakin itu. Dia tidak perlu mengetahui obrolan itu, obrolan itu tidak penting
baginya, dan obrolan itu hanya bisa menyakitinya.
Dia
tahu dia dibenci. Bukan karena sifatnya karena ia cenderung tertutup. Lalu apa?
Dia
menggeleng. Lupakan saja, batinnya.
Dia
kembali memandangi keempat orang yang sedang tertawa bersama itu. Kali ini
mereka sedang menghabiskan makanan mereka dan berjalan menuju pintu keluar
kantin. Dia yang melihat itu buru-buru meminum jusnya dan segera keluar dari
kantin. Kembali memandangi orang itu dari jauh. Kembali tersenyum saat orang
itu tertawa lepas bersama ketiga temannya.
Kembali
menyadari bahwa orang itu bahkan tidak menganggapnya ada.
Ia
menghela nafas dan segera pergi. Percuma mengumpat dalam hati. Yang bisa dia
lakukan hanya diam.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar