KRIIING!!!
“Baik,
karena tidak ada pertanyaan lagi, saya tutup pelajaran hari ini. Jangan lupa
kerjakan PR yang saya berikan, latihan halaman 83 sampai 86. Sekian, selamat
siang!” Pak Suryo melangkah keluar dari kelas. Dalam sekejap suasana kelas yang
semula sepi langsung berubah menjadi ramai layaknya pasar.
Sebagian
besar anak perempuan bergosip di pojokan kelas. Sebagian besar anak laki-laki
membuka kemeja mereka dan buru-buru memakai kaos dan segera lari ke lapangan. Kumpulan
anak-anak pintar yang berkacamata berkumpul dan berdiskusi mengenai ulangan
sejarah kemarin. Awalnya aku diajak oleh kumpulan anak-anak berkacamata itu,
tapi aku menolak karena ingin cepat-cepat pulang. Aku juga sempat diajak oleh
anak-anak perempuan yang bergosip di pojokan kelas, itu juga kutolak. Aku
benar-benar ingin pulang.
Aku
segera membereskan tasku dan segera keluar kelas. Ketika aku melewati lapangan
sepak bola, seseorang mencegatku.
“Danny?”
tanyaku bingung, sekaligus senang. “Ada apa?”
“Boleh
minta nomor handphone-mu?” tanyanya
tanpa basa-basi.
“Untuk
apa?” tanyaku heran.
“Kita
satu kelompok dalam tugas buku harian,” jawabnya. “Akan sulit jika kita tidak bisa
saling berkomunikasi, aku butuh nomor handphone-mu
agar bisa menghubungimu kapan saja.”
Aku
mengangkat bahu lalu mengambil handphone-ku
dari dalam saku kemeja. “Sebutkan saja nomormu.”
Danny
menyebutkan nomor handphone-nya.
Aku
menekan tombol call dan tiba-tiba saja
bunyi musik rock atau apalah itu
mengalun dari saku celana Danny. Danny buru-buru mengambil handphone-nya dan menekan tombol accept. “Halo?” katanya.
“Itu
aku, Dann,” ujarku sambil menekan tombol cancel.
“Itu nomorku, aku pulang sekarang,” dan tanpa menunggu balasan perkataannya,
aku pergi. Aku yakin sebenarnya dia masih benci padaku. Jujur saja, aku tidak
tahu apa yang ia benci dariku.
“Oh,
astaga,” desah Danny sambil memasukkan handphone-nya
ke saku.
Aku
hanya tertawa kecil melihat tingkahnya dari jauh.
Kau memang unik, Danny...
*
“Bagaimana
mengisinya, ya?” pikirku sambil memutar-mutar pulpen. Kebiasaanku kalau sedang
tidak dapat ide untuk menulis atau menggambar.
Aku
mengetukkan jari tanganku ke meja. Masih kebingungan. Bagaimana harusnya aku
mengisi buku harian ini? Haruskah kutulis dear
Danny? Tapi rasanya tidak. Kalau tidak menyebutkan namanya akan terasa
aneh. Aku bingung. Akhirnya aku memutuskan untuk berbaring sesaat.
Mungkin tulis namanya saja, pikirku.
Akhirnya aku duduk kembali di kursi meja belajar dan segera menulis. Hasilnya
memang hanya dua paragraf, tapi setidaknya ada hasilnya.
Rabu, 15 Agustus 2010
Danny...
Menurutku, hari ini tidak begitu
menyenangkan karena kelihatannya si “dia” benci sekali padaku. Bukannya sok
tahu atau apa, tapi memang kenyataannya begitu. Banyak orang yang sering
berbisik dan bilang “dia benci Giena” atau semacamnya. Seharusnya aku tidak
peduli. Ya, aku memang berusaha tidak peduli.
Lupakan tentang aku, bagaimana
denganmu? Apa kau punya seorang “dia” di hatimu? Hahaha, aku tidak memaksa,
kalau tidak mau cerita juga tidak apa-apa. Tapi kalau kau mau bercerita aku
merasa terhormat, bisa dibilang artinya kau percaya padaku.
Sudah ya...
-Giena-
Aku
tersenyum kecil lalu memasukkan buku harian itu ke dalam tas. Besok aku akan memberikannya
pada Danny. Kemudian aku mengiriminya pesan.
To: Danny
Aku sudah selesai mengisinya, hanya dua paragraf. Kau
mau mengisinya seberapa panjang?
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar