Kamis, 07 Februari 2013

The Diary (part 3)


                KRIIING!!!
                “Baik, karena tidak ada pertanyaan lagi, saya tutup pelajaran hari ini. Jangan lupa kerjakan PR yang saya berikan, latihan halaman 83 sampai 86. Sekian, selamat siang!” Pak Suryo melangkah keluar dari kelas. Dalam sekejap suasana kelas yang semula sepi langsung berubah menjadi ramai layaknya pasar.
                Sebagian besar anak perempuan bergosip di pojokan kelas. Sebagian besar anak laki-laki membuka kemeja mereka dan buru-buru memakai kaos dan segera lari ke lapangan. Kumpulan anak-anak pintar yang berkacamata berkumpul dan berdiskusi mengenai ulangan sejarah kemarin. Awalnya aku diajak oleh kumpulan anak-anak berkacamata itu, tapi aku menolak karena ingin cepat-cepat pulang. Aku juga sempat diajak oleh anak-anak perempuan yang bergosip di pojokan kelas, itu juga kutolak. Aku benar-benar ingin pulang.
                Aku segera membereskan tasku dan segera keluar kelas. Ketika aku melewati lapangan sepak bola, seseorang mencegatku.
                “Danny?” tanyaku bingung, sekaligus senang. “Ada apa?”
                “Boleh minta nomor handphone-mu?” tanyanya tanpa basa-basi.
                “Untuk apa?” tanyaku heran.
                “Kita satu kelompok dalam tugas buku harian,” jawabnya. “Akan sulit jika kita tidak bisa saling berkomunikasi, aku butuh nomor handphone-mu agar bisa menghubungimu kapan saja.”
                Aku mengangkat bahu lalu mengambil handphone-ku dari dalam saku kemeja. “Sebutkan saja nomormu.”
                Danny menyebutkan nomor handphone-nya.
                Aku menekan tombol call dan tiba-tiba saja bunyi musik rock atau apalah itu mengalun dari saku celana Danny. Danny buru-buru mengambil handphone-nya dan menekan tombol accept. “Halo?” katanya.
                “Itu aku, Dann,” ujarku sambil menekan tombol cancel. “Itu nomorku, aku pulang sekarang,” dan tanpa menunggu balasan perkataannya, aku pergi. Aku yakin sebenarnya dia masih benci padaku. Jujur saja, aku tidak tahu apa yang ia benci dariku.
                “Oh, astaga,” desah Danny sambil memasukkan handphone-nya ke saku.
                Aku hanya tertawa kecil melihat tingkahnya dari jauh.
                Kau memang unik, Danny...

*

                “Bagaimana mengisinya, ya?” pikirku sambil memutar-mutar pulpen. Kebiasaanku kalau sedang tidak dapat ide untuk menulis atau menggambar.
                Aku mengetukkan jari tanganku ke meja. Masih kebingungan. Bagaimana harusnya aku mengisi buku harian ini? Haruskah kutulis dear Danny? Tapi rasanya tidak. Kalau tidak menyebutkan namanya akan terasa aneh. Aku bingung. Akhirnya aku memutuskan untuk berbaring sesaat.
                Mungkin tulis namanya saja, pikirku. Akhirnya aku duduk kembali di kursi meja belajar dan segera menulis. Hasilnya memang hanya dua paragraf, tapi setidaknya ada hasilnya.

                Rabu, 15 Agustus 2010

                Danny...
                Menurutku, hari ini tidak begitu menyenangkan karena kelihatannya si “dia” benci sekali padaku. Bukannya sok tahu atau apa, tapi memang kenyataannya begitu. Banyak orang yang sering berbisik dan bilang “dia benci Giena” atau semacamnya. Seharusnya aku tidak peduli. Ya, aku memang berusaha tidak peduli.
                Lupakan tentang aku, bagaimana denganmu? Apa kau punya seorang “dia” di hatimu? Hahaha, aku tidak memaksa, kalau tidak mau cerita juga tidak apa-apa. Tapi kalau kau mau bercerita aku merasa terhormat, bisa dibilang artinya kau percaya padaku.
                Sudah ya...
                -Giena-

                Aku tersenyum kecil lalu memasukkan buku harian itu ke dalam tas. Besok aku akan memberikannya pada Danny. Kemudian aku mengiriminya pesan.

To: Danny

Aku sudah selesai mengisinya, hanya dua paragraf. Kau mau mengisinya seberapa panjang?

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar