Minggu, 10 Februari 2013

Luna's Diary (part 3)


                Aku dan Florrie sampai di kelas tepat saat bel berbunyi. Dengan langkah cepat aku segera mencari meja yang bertuliskan namaku di atasnya. Dan aku belum menemukannya. Padahal aku sudah mencari di 10 meja—ada 15 meja di setiap kelas, satu meja untuk dua orang—tapi namaku belum terlihat. Sisa dua meja lagi. Aku melihat huruf ‘L’ dan ‘U’ di sebuah meja yang sisi kanannya sudah ditempati seorang anak laki-laki yang kelihatannya sedang tidur. Aku mendekat dan membaca tulisan di meja itu. Luna Greyson. Ah, ini memang tempatku.
                “Permisi,” ucapku pada anak laki-laki yang kelihatan sedang tidur itu. “Bisakah kau bergeser? Ini tempatku.”
                Anak laki-laki itu terbangun dan menatapku. Oh, rupanya itu Will. William Stiefel. Dia anak paling pintar di kelas—atau mungkin di angkatan ini—dan dia termasuk tipe orang yang pendiam. Dia tidak banyak tingkah dan selama ini yang kutahu nilai attitude-nya selalu masuk kategori excellent.
                “Ah?” Will menatap tulisan nama di depannya. “Oh, ya, ini tempatmu. Maaf, maaf, aku akan bergeser.”
                Aku menunggu Will menggeser badannya, kemudian aku duduk dan mengeluarkan alat tulisku dari tas. Setelah itu, aku keluar dari kelas untuk menaruh tasku di loker. Loker kami memang ditaruh di luar kelas, tapi loker kami selalu dalam keadaan terkunci. Lagipula principal tidak mengizinkan kami menaruh barang berharga di dalamnya. Yah, seaman-amannya lingkungan sekolah ini, tetap saja ada titik lemahnya. Tapi aku memang tidak pernah menaruh barang berharga di dalam loker. Aku pasti menaruh dompet, ponsel, atau barang berharga lainnya di tas pinggang yang selalu kubawa kemana-mana. Ini kebiasaan sejak kecil yang akhirnya terbawa sampai sekarang.
                “Apa mata pelajaran pertama?” tanyaku pada Will ketika aku baru saja duduk di kursi setelah menaruh tas di loker.
                Will membuka jurnalnya lalu berkata, “Science.”
                Aku manggut-manggut. “Lalu hari ini kita akan belajar tentang apa? Oh, apakah ujian atau pelajaran biasa?”
                “Mm... aku tidak tahu.” Will mengangkat bahu. “Mr. Hopwood tidak bilang apa-apa waktu itu. Yang jelas sudah tidak ada materi baru untuk semester ini.”
                “Syukurlah.” Aku menghembuskan nafas lega.
                Oya, sedikit penjelasan mengenai Will. Kenapa aku bertanya terus padanya? Hanya ada satu alasan. Selain murid terpintar di kelas, Will merangkap sebagai ketua kelas di kelas kami, kelas 2-1. Para guru selalu mengabari Will tentang ujian, informasi-informasi penting, dan sebagainya. Wali kelas kami, Ms. Harlow, menunjuk Will sebagai ketua kelas karena Will adalah satu-satunya murid laki-laki yang dapat dipercaya di kelas ini. Aku sebenarnya setuju-setuju saja karena sama seperti Ms. Harlow, aku tidak bisa memercayai murid laki-laki yang lain.
                Seseorang menepuk pundakku dan tepukan itu mengembalikan kesadaranku.
                “Luna, kau melamun, ya?” ujar suara itu. “Aku sudah memanggilmu tiga kali tapi kau tidak menyahut juga.”
                Aku tahu itu bukan suara Will. Aku menoleh dan menemukan sosok Florrie sedang menatapku dengan wajah heran bercampur bingung. Aku tertegun sejenak. Tiba-tiba Florrie berkata lagi, “Kenapa menatapku seperti itu?”
                “Tidak, hanya... bingung.” Aku mengangkat bahu lalu kembali menghadap depan.
                “Hei, Luna, kau tahu tidak?”
                “Apa?” balasku tanpa menoleh.
                “Aku duduk di belakangmu!”
                “Lalu kenapa?”
                “Aku hanya memberitahu,” Florrie terus berceloteh dengan riang. “Jadi selama pelajaran, aku bisa bertanya padamu kalau aku tidak bisa mengerjakannya. Dan aku juga bisa memanggilmu kapan saja aku mau. Dan aku juga bisa mengerjaimu kapan saja!”
                “Oh.”
                “Ah, kau tidak menanggapiku.” Florrie mendesah lalu menopang dagunya. Aku hanya tersenyum kecil ketika melihat temanku yang satu itu. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka dan rupanya Mr. Hopwood baru masuk.
                Aku segera mengambil posisi duduk yang benar dan menaruh alat tulis serta buku-bukuku di meja. Dalam pelajaran science ada tiga buku yang harus, eh, wajib dibawa. Kenapa wajib? Tidak ada murid yang tahu. Tapi semua guru science di sekolah ini sama. Dalam setiap pelajaran science paling tidak ada tiga buku yang wajib dibawa oleh para murid.
                “Baik, anak-anak, selamat pagi.” Mr. Hopwood membuka pelajaran.
                “Pagi, Mr. Hopwood.” Kami menjawab kompak.
                “Baik, pelajaran science hari ini hanya review materi-materi sebelumnya. Dan bila ada diantara kalian yang merasa tugasnya belum lengkap, harap segera hubungi saya dan saya akan memberitahu kalian tugas apa saja yang belum kalian kerjakan. Sekarang sebelum memulai kegiatan kita hari ini, ada pertanyaan?”

*

                Pelajaran hari ini sudah selesai. Tiba waktunya untuk pulang. Aku mendesah lega. Sudah seharian ini aku merasa tidak bersemangat dan stress. Jangan tanya aku apa alasannya karena aku sendiri tidak tahu. Kepalaku berdenyut-denyut setiap saat dan aku merasa sesak nafas. Tapi aku sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi padaku saat itu. Hanya saja aku tahu apa penyebabnya.
                “Luna! Tunggu aku!”
                Aku menoleh dan melihat Florrie sedang berlari-lari kecil ke arahku sambil membawa setumpuk kertas. Florrie terlihat acak-acakkan. Rambutnya yang tadi tergerai rapi sekarang berantakan, celananya sedikit kusut dan bagian bawahnya sedikit terlipat, tas selempangnya dalam keadaan setengah terbuka, dan sebuah pulpen ia selipkan asal di kerah kausnya sehingga terlihat aneh. Dia benar-benar terlihat kacau dan bingung. Sorot mata dan warna pipinya menunjukkan bahwa dia lelah.
                “Kau kenapa?” tanyaku ketika Florrie sudah berdiri di dekatku. Aku buru-buru membantunya membawa tumpukan kertas yang sedari tadi dipegangnya. “Rambutmu kacau sekali.”
                “Ah, iya, sebentar,” Florrie mengaduk-aduk tasnya dan mengeluarkan sebuah ikat rambut warna hitam. Ia menguncir satu rambut ikal merahnya itu dan mengibaskannya ke belakang. “Nah, sekarang, tunggu dulu di sini sementara aku membereskan barang-barangku.”
                Aku tertawa pelan sambil mengangguk. Aku duduk di kursi taman yang ada di pinggir sambil menunggu Florrie membereskan barang-barangnya. Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Flo, apa yang kaulakukan sampai kau terlihat acak-acakkan begitu?”
                “Hah?” Florrie menatap pakaiannya yang acak-acakkan lalu buru-buru merapikannya. Ia menjilat bibir lalu tertawa kecil. “Tadi aku bertabrakkan dengan seseorang—aku tidak kenal siapa—yang jelas badannya besar, jauh lebih besar daripada aku. Aku sedang mencarimu tapi tidak ketemu. Akhirnya aku menabrak orang itu saat sedang mengarah kemari.”
                Aku tidak bisa menahan diri untuk tertawa. “Lalu... ini kertas apa?” tanyaku sambil menunjuk tumpukan kertas yang sedang kupegang.
                “Yang mana?” tanyanya sambil menatap kertas yang ada di tanganku. “Itu hanya berkas-berkas yang kusimpan di tas. Tapi karena tasku robek, terpaksa aku membawanya.”
                “Tasmu robek?”
                “Ya, ini,” Florrie menunjukkan bagian tasnya yang robek. “Isinya terlalu banyak, bahkan aku tidak bisa membawa buku-buku pelajaranku gara-gara tas ini robek.”
                “Astaga.” Aku tertawa lagi. “Lain kali sebaiknya kau bawa tas ransel saja, jangan tas selempang.”
                “Ya, ya, kurasa kau benar,” kata Florrie sambil membetulkan lipatan celananya. “Tapi tolong dulu aku, tempat pensilku, ini, kau pegang dulu. Ah, masukkan pulpen ini.”
                Aku menerima pulpen yang disodorkan Florrie lalu membuka tempat pensil Florrie untuk menaruh pulpennya. Setelah itu, aku menutupnya kembali dan menyerahkannya pada Florrie. “Ini.”
                “Ah, ya, terima kasih,” katanya setelah menerima tempat pensil itu. “Nah, sudah beres semua. Ayo kita ke rumahku. Kau akan ikut aku, kan?”
                “Ya, lagipula tidak ada yang menjemputku siang ini.”

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar