Aku dan Florrie sampai di kelas
tepat saat bel berbunyi. Dengan langkah cepat aku segera mencari meja yang
bertuliskan namaku di atasnya. Dan aku belum menemukannya. Padahal aku sudah
mencari di 10 meja—ada 15 meja di setiap kelas, satu meja untuk dua orang—tapi
namaku belum terlihat. Sisa dua meja lagi. Aku melihat huruf ‘L’ dan ‘U’ di
sebuah meja yang sisi kanannya sudah ditempati seorang anak laki-laki yang
kelihatannya sedang tidur. Aku mendekat dan membaca tulisan di meja itu. Luna Greyson.
Ah, ini memang tempatku.
“Permisi,” ucapku pada anak
laki-laki yang kelihatan sedang tidur itu. “Bisakah kau bergeser? Ini
tempatku.”
Anak laki-laki itu terbangun dan
menatapku. Oh, rupanya itu Will. William Stiefel. Dia anak paling pintar di kelas—atau
mungkin di angkatan ini—dan dia termasuk tipe orang yang pendiam. Dia tidak
banyak tingkah dan selama ini yang kutahu nilai attitude-nya selalu masuk kategori excellent.
“Ah?” Will menatap tulisan nama
di depannya. “Oh, ya, ini tempatmu. Maaf, maaf, aku akan bergeser.”
Aku menunggu Will menggeser
badannya, kemudian aku duduk dan mengeluarkan alat tulisku dari tas. Setelah
itu, aku keluar dari kelas untuk menaruh tasku di loker. Loker kami memang
ditaruh di luar kelas, tapi loker kami selalu dalam keadaan terkunci. Lagipula principal tidak mengizinkan kami menaruh
barang berharga di dalamnya. Yah, seaman-amannya lingkungan sekolah ini, tetap
saja ada titik lemahnya. Tapi aku memang tidak pernah menaruh barang berharga
di dalam loker. Aku pasti menaruh dompet, ponsel, atau barang berharga lainnya
di tas pinggang yang selalu kubawa kemana-mana. Ini kebiasaan sejak kecil yang
akhirnya terbawa sampai sekarang.
“Apa mata pelajaran pertama?”
tanyaku pada Will ketika aku baru saja duduk di kursi setelah menaruh tas di
loker.
Will membuka jurnalnya lalu
berkata, “Science.”
Aku manggut-manggut. “Lalu hari
ini kita akan belajar tentang apa? Oh, apakah ujian atau pelajaran biasa?”
“Mm... aku tidak tahu.” Will
mengangkat bahu. “Mr. Hopwood tidak bilang apa-apa waktu itu. Yang jelas sudah
tidak ada materi baru untuk semester ini.”
“Syukurlah.” Aku menghembuskan
nafas lega.
Oya, sedikit penjelasan mengenai
Will. Kenapa aku bertanya terus padanya? Hanya ada satu alasan. Selain murid
terpintar di kelas, Will merangkap sebagai ketua kelas di kelas kami, kelas 2-1.
Para guru selalu mengabari Will tentang ujian, informasi-informasi penting, dan
sebagainya. Wali kelas kami, Ms. Harlow, menunjuk Will sebagai ketua kelas
karena Will adalah satu-satunya murid laki-laki yang dapat dipercaya di kelas
ini. Aku sebenarnya setuju-setuju saja karena sama seperti Ms. Harlow, aku tidak
bisa memercayai murid laki-laki yang lain.
Seseorang menepuk pundakku dan
tepukan itu mengembalikan kesadaranku.
“Luna, kau melamun, ya?” ujar
suara itu. “Aku sudah memanggilmu tiga kali tapi kau tidak menyahut juga.”
Aku tahu itu bukan suara Will.
Aku menoleh dan menemukan sosok Florrie sedang menatapku dengan wajah heran
bercampur bingung. Aku tertegun sejenak. Tiba-tiba Florrie berkata lagi,
“Kenapa menatapku seperti itu?”
“Tidak, hanya... bingung.” Aku
mengangkat bahu lalu kembali menghadap depan.
“Hei, Luna, kau tahu tidak?”
“Apa?” balasku tanpa menoleh.
“Aku duduk di belakangmu!”
“Lalu kenapa?”
“Aku hanya memberitahu,” Florrie
terus berceloteh dengan riang. “Jadi selama pelajaran, aku bisa bertanya padamu
kalau aku tidak bisa mengerjakannya. Dan aku juga bisa memanggilmu kapan saja
aku mau. Dan aku juga bisa mengerjaimu kapan saja!”
“Oh.”
“Ah, kau tidak menanggapiku.”
Florrie mendesah lalu menopang dagunya. Aku hanya tersenyum kecil ketika
melihat temanku yang satu itu. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka dan
rupanya Mr. Hopwood baru masuk.
Aku segera mengambil posisi
duduk yang benar dan menaruh alat tulis serta buku-bukuku di meja. Dalam
pelajaran science ada tiga buku yang
harus, eh, wajib dibawa. Kenapa wajib? Tidak ada murid yang tahu. Tapi semua
guru science di sekolah ini sama.
Dalam setiap pelajaran science paling
tidak ada tiga buku yang wajib dibawa oleh para murid.
“Baik, anak-anak, selamat pagi.”
Mr. Hopwood membuka pelajaran.
“Pagi, Mr. Hopwood.” Kami
menjawab kompak.
“Baik, pelajaran science hari ini hanya review materi-materi sebelumnya. Dan
bila ada diantara kalian yang merasa tugasnya belum lengkap, harap segera
hubungi saya dan saya akan memberitahu kalian tugas apa saja yang belum kalian
kerjakan. Sekarang sebelum memulai kegiatan kita hari ini, ada pertanyaan?”
*
Pelajaran hari ini sudah
selesai. Tiba waktunya untuk pulang. Aku mendesah lega. Sudah seharian ini aku
merasa tidak bersemangat dan stress. Jangan tanya aku apa alasannya karena aku
sendiri tidak tahu. Kepalaku berdenyut-denyut setiap saat dan aku merasa sesak
nafas. Tapi aku sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi padaku saat
itu. Hanya saja aku tahu apa penyebabnya.
“Luna! Tunggu aku!”
Aku menoleh dan melihat Florrie
sedang berlari-lari kecil ke arahku sambil membawa setumpuk kertas. Florrie
terlihat acak-acakkan. Rambutnya yang tadi tergerai rapi sekarang berantakan, celananya
sedikit kusut dan bagian bawahnya sedikit terlipat, tas selempangnya dalam keadaan
setengah terbuka, dan sebuah pulpen ia selipkan asal di kerah kausnya sehingga terlihat
aneh. Dia benar-benar terlihat kacau dan bingung. Sorot mata dan warna pipinya
menunjukkan bahwa dia lelah.
“Kau kenapa?” tanyaku ketika
Florrie sudah berdiri di dekatku. Aku buru-buru membantunya membawa tumpukan
kertas yang sedari tadi dipegangnya. “Rambutmu kacau sekali.”
“Ah, iya, sebentar,” Florrie
mengaduk-aduk tasnya dan mengeluarkan sebuah ikat rambut warna hitam. Ia
menguncir satu rambut ikal merahnya itu dan mengibaskannya ke belakang. “Nah,
sekarang, tunggu dulu di sini sementara aku membereskan barang-barangku.”
Aku tertawa pelan sambil
mengangguk. Aku duduk di kursi taman yang ada di pinggir sambil menunggu
Florrie membereskan barang-barangnya. Aku tidak bisa menahan diri untuk
bertanya, “Flo, apa yang kaulakukan sampai kau terlihat acak-acakkan begitu?”
“Hah?” Florrie menatap
pakaiannya yang acak-acakkan lalu buru-buru merapikannya. Ia menjilat bibir
lalu tertawa kecil. “Tadi aku bertabrakkan dengan seseorang—aku tidak kenal
siapa—yang jelas badannya besar, jauh lebih besar daripada aku. Aku sedang
mencarimu tapi tidak ketemu. Akhirnya aku menabrak orang itu saat sedang
mengarah kemari.”
Aku tidak bisa menahan diri
untuk tertawa. “Lalu... ini kertas apa?” tanyaku sambil menunjuk tumpukan
kertas yang sedang kupegang.
“Yang mana?” tanyanya sambil
menatap kertas yang ada di tanganku. “Itu hanya berkas-berkas yang kusimpan di
tas. Tapi karena tasku robek, terpaksa aku membawanya.”
“Tasmu robek?”
“Ya, ini,” Florrie menunjukkan
bagian tasnya yang robek. “Isinya terlalu banyak, bahkan aku tidak bisa membawa
buku-buku pelajaranku gara-gara tas ini robek.”
“Astaga.” Aku tertawa lagi.
“Lain kali sebaiknya kau bawa tas ransel saja, jangan tas selempang.”
“Ya, ya, kurasa kau benar,” kata
Florrie sambil membetulkan lipatan celananya. “Tapi tolong dulu aku, tempat
pensilku, ini, kau pegang dulu. Ah, masukkan pulpen ini.”
Aku menerima pulpen yang disodorkan
Florrie lalu membuka tempat pensil Florrie untuk menaruh pulpennya. Setelah
itu, aku menutupnya kembali dan menyerahkannya pada Florrie. “Ini.”
“Ah, ya, terima kasih,” katanya
setelah menerima tempat pensil itu. “Nah, sudah beres semua. Ayo kita ke
rumahku. Kau akan ikut aku, kan?”
“Ya, lagipula tidak ada yang
menjemputku siang ini.”
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar