Jumat, 01 Februari 2013

Travel Writer (part 1)


                Travel writer.
                Entah sudah berapa lama kata-kata itu berkelebat di benaknya. Ia tidak mengerti apa maksudnya, tapi entah kenapa kata-kata itu terasa sangat akrab dengannya. Dengan mendengar kata itu seolah ia mengingat masa lalu. Tapi ia sendiri tidak ingat ada apa dengan masa lalunya. Ia hanya tahu kata-kata itu ada di masa lalunya, tapi ia tidak tahu cerita jelasnya. Tapi sesaat kemudian sesuatu terbersit di benaknya.
                Dua kata sederhana itu mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang sudah lama hilang dari dunia ini. Seseorang yang merupakan sahabat pertamanya. Seseorang yang sangat menyayanginya. Seseorang yang sangat terobsesi dengan travel writer. Seseorang dengan nama Kevin.
                Venla menghembuskan nafas dan menaruh kembali gantungan kunci yang sedari tadi ia genggam. Entah sudah berapa lama dan berapa kali ia menggenggam gantungan kunci itu sembari mengenang Kevin. Ia tahu seharusnya ia tidak boleh melakukannya lagi, tapi ia ingin. Hanya dengan mengenang Kevin ia bisa tenang. Walaupun sebenarnya ia tahu Kevin sudah tidak ada di dunia ini lagi.
                “Venla,” panggil Olivia, teman satu flat-nya. “Kau melakukannya lagi?” lanjutnya dengan nada yang terdengar pahit.
                Venla menoleh dan mengangguk lemah.
                Olivia mendesah. “Kau tahu harusnya kau berhenti melakukannya,” tegas Olivia sambil mengambil kotak berisi gantungan kunci yang tadi digenggam Venla. “Kau tidak boleh terlarut seperti ini. Sudah satu tahun berlalu sejak kepergian Kevin tapi kau masih melakukannya.”
                “Maaf,” Venla menunduk. “Aku tidak bisa menahan diri.”
                “Ya sudah,” Olivia menghembuskan nafas. “Aku akan menyita ini untuk sementara waktu sampai kau tidak lagi memikirkannya. Maafkan aku, tapi ini satu-satunya cara.”
                Venla hanya tersenyum lemah. Olivia membalikkan badannya dan berjalan keluar dari kamar Venla. Venla mendesah keras lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Ia meraih guling dan memeluknya. Disitanya gantungan kunci itu oleh Olivia malah memperburuk keadaan. Sekarang ia merasa semakin terlarut dan tidak bersemangat. Bahkan ia yakin ia dapat menangis kapan saja.
                Dengan tidak adanya gantungan kunci itu ia tidak dapat mengingat Kevin. Ia memejamkan mata dan berguling-guling di kasur. Dengan tidak adanya gantungan kunci itu justru membuatnya uring-uringan. Ia tidak pernah ingin terlarut dalam kenangan Kevin. Tidak pernah. Tapi entah kenapa ketika ia sadar di tangannya sudah ada gantungan kunci pemberian Kevin dan dia sedang duduk termenung. Kesadarannya baru pulih benar saat dia mendengar suara Olivia.

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar