Minggu, 03 Februari 2013

The Diary (part 2)


                Bel berbunyi.
                Aku duduk di kursi dalam diam. Yang kulakukan sedari tadi hanya membaca novel favoritku sembari menunggu bel masuk berbunyi. Karena bel sudah berbunyi, ada baiknya aku segera menyiapkan buku paket Bahasa Indonesia beserta buku tulisnya. Tidak ada satu orang murid pun yang mau dimarahi Bu Ratya yang galaknya melebihi kepala sekolah.
                Murid-murid yang tadi ada di luar berlarian masuk ke dalam kelas. Kami semua tahu kebiasaan Bu Ratya; sampai di kelas pukul tujuh lewat lima dan tidak ada murid yang boleh datang setelahnya. Untungnya, Bu Ratya masih memberi toleransi untuk murid yang datang bersamaan dengannya.
                Bu Ratya adalah guru Bahasa Indonesia yang baru mengajar di sekolah kami selama dua tahun. Tapi semua murid takut padanya, melebihi rasa takut kami pada Pak Min, guru Matematika yang sudah mengajar di sekolah ini sejak awal berdirinya. Tapi, tumben-tumbennya hari ini Bu Ratya datang ke kelas dengan senyuman lebar dan langkah santai. Padahal biasanya beliau selalu memasang wajah seram dan langkahnya terburu-buru.
                “Selamat pagi, anak-anak!” sapa Bu Ratya.
                “Pagi, Bu!” balas para murid.
                “Hari ini kita akan belajar tentang buku harian!” Bu Ratya memulai. Beliau menulis ‘buku harian’ di papan tulis dengan huruf kapital. “Ibu baru saja diberi tahu hal yang menarik sekali oleh kepala sekolah, tugas akhir tahun Bahasa Indonesia kalian berhubungan dengan buku harian,” jelas Bu Ratya. “Tugasnya adalah tukar menukar buku harian. Jadi... ibu akan bagi kelompok! Satu kelompok dua orang dan masing-masing kelompok memegang satu buku harian. Kalian harus mengisi buku harian secara berselang. Misalnya Onia berkelompok dengan Tirta, lalu Onia yang mengisinya lebih dulu, misalnya... ‘hari ini aku bangun pagi sekali, bagaimana denganmu?’ lalu Tirta membalas, ‘ah, aku bangun siang hari ini’ dan seterusnya. Paham?”
                Semua murid mengangguk. Aku melirik ke barisan belakang. Para murid perempuan tampak sangat antusias dengan tugas ini. Tentu saja, sebagian besar perempuan suka menulis di buku harian. Termasuk aku.
                “Baik, ibu akan bagi kelompoknya sekarang,” Bu Ratya membuka daftar absen. “Ibu bagi kelompoknya secara acak, perempuan dan laki-laki akan digabung.”
                Terdengar keluhan dari sebagian besar murid di kelas.
                Bu Ratya mengangkat sebelah tangan dan seperti sulap, semua murid terdiam. “Ibu tidak peduli apa komentar kalian,” ujar Bu Ratya tegas. “Ini tugas, ibu hanya ingin membuat kalian lebih mengenal satu sama lain. Lagipula jumlahnya pas, dua puluh perempuan dan dua puluh laki-laki.”
                Murid-murid hanya mengangguk pasrah.
                “Baiklah,” Bu Ratya mulai membaca daftar absen. “Onia dengan Chandra, Tirta dengan Runa, Cici dengan Farid, Zia dengan Sayid, Bintang dengan Vanya, Puput dengan Hafidz....”
                Bu Ratya terus menyebut nama murid-murid tapi beliau belum juga menyebut namaku.
                “Terakhir,” Bu Ratya menghela nafas. “Giena dengan Danny.”
                Aku membelalak. Danny? Sungguhan, nih?
                Terdengar suara cekikikan dari sudut kiri belakang. Aku menoleh ke belakang dan melihat ketiga teman Danny sedang menertawainya. Danny memasang raut wajah sebal. Ah, aku tahu apa yang membuatnya begitu.
                “Tolong bergabung dengan anggota kelompoknya,” ujar Bu Ratya.
                Baru saja aku mengambil pensil dan hendak berdiri, Danny sudah duduk di kursi sebelahku. Dia berkata dengan nada dingin, “Kalau disuruh, nanti kamu yang ambil bukunya dan kamu yang isi duluan.”
                Aku mengangkat alis lalu mengangguk pelan.
                “Perwakilan dari tiap kelompok, ambil satu buku yang ada di sini!” seru Bu Ratya.
                Aku beranjak dari kursi lalu mengambil salah satu buku yang tersedia di atas meja guru. Hanya sebuah buku tulis biasa, sampulnya berwarna biru pastel. Polos. Tidak ada gambar apa pun. Kurasa Bu Ratya mengerti bahwa warna biru adalah warna netral bagi laki-laki dan perempuan.
                “Baik!” Bu Ratya menepuk tangannya. “Ibu akan berikan temanya sekarang!” Bu Ratya menunduk lalu kembali berseru. “Temanya adalah ‘orang yang disuka’!”
                Sebagian besar anak membelalak. Kelas mulai gaduh.
                “Tenang, anak-anak!” seru Bu Ratya. “Tentu saja ibu tidak akan memaksa kalian, nah, begini, temanya tetap ‘orang yang disuka’, hanya saja kalian tidak perlu menyebutkan nama orang tersebut. Bagaimana?”
                “Aku tidak mengerti, bu!” Vanya mengangkat tangannya.
                “Begini,” Bu Ratya berdeham. “Misalnya, si A menyukai si B, misalnya si B menyapa si A di pagi hari, si A bisa menulis di buku hariannya ‘hari ini dia menyapaku, aku senang sekali’. Nah, seperti itu! Kalian hanya perlu menulis ‘dia’ dan bukan nama aslinya, bagaimana?”
                Sebagian besar murid mengangguk. Begitu pula aku.
                “Baiklah, kalau begitu kalian bisa mulai dari hari ini,” Bu Ratya tersenyum. “Perempuan yang harus mengisi buku hariannya terlebih dulu.”
                Aku mengangkat alis. Kebetulan sekali, perintah Bu Ratya dan Danny sama.
                “Baiklah, kita akan memulai pelajaran hari ini.”

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar