Bel
berbunyi.
Aku
duduk di kursi dalam diam. Yang kulakukan sedari tadi hanya membaca novel
favoritku sembari menunggu bel masuk berbunyi. Karena bel sudah berbunyi, ada
baiknya aku segera menyiapkan buku paket Bahasa Indonesia beserta buku
tulisnya. Tidak ada satu orang murid pun yang mau dimarahi Bu Ratya yang
galaknya melebihi kepala sekolah.
Murid-murid
yang tadi ada di luar berlarian masuk ke dalam kelas. Kami semua tahu kebiasaan
Bu Ratya; sampai di kelas pukul tujuh lewat lima dan tidak ada murid yang boleh
datang setelahnya. Untungnya, Bu Ratya masih memberi toleransi untuk murid yang
datang bersamaan dengannya.
Bu
Ratya adalah guru Bahasa Indonesia yang baru mengajar di sekolah kami selama
dua tahun. Tapi semua murid takut padanya, melebihi rasa takut kami pada Pak
Min, guru Matematika yang sudah mengajar di sekolah ini sejak awal berdirinya.
Tapi, tumben-tumbennya hari ini Bu Ratya datang ke kelas dengan senyuman lebar
dan langkah santai. Padahal biasanya beliau selalu memasang wajah seram dan
langkahnya terburu-buru.
“Selamat
pagi, anak-anak!” sapa Bu Ratya.
“Pagi,
Bu!” balas para murid.
“Hari
ini kita akan belajar tentang buku harian!” Bu Ratya memulai. Beliau menulis
‘buku harian’ di papan tulis dengan huruf kapital. “Ibu baru saja diberi tahu
hal yang menarik sekali oleh kepala sekolah, tugas akhir tahun Bahasa Indonesia
kalian berhubungan dengan buku harian,” jelas Bu Ratya. “Tugasnya adalah tukar
menukar buku harian. Jadi... ibu akan bagi kelompok! Satu kelompok dua orang
dan masing-masing kelompok memegang satu buku harian. Kalian harus mengisi buku
harian secara berselang. Misalnya Onia berkelompok dengan Tirta, lalu Onia yang
mengisinya lebih dulu, misalnya... ‘hari ini aku bangun pagi sekali, bagaimana
denganmu?’ lalu Tirta membalas, ‘ah, aku bangun siang hari ini’ dan seterusnya.
Paham?”
Semua
murid mengangguk. Aku melirik ke barisan belakang. Para murid perempuan tampak
sangat antusias dengan tugas ini. Tentu saja, sebagian besar perempuan suka menulis
di buku harian. Termasuk aku.
“Baik,
ibu akan bagi kelompoknya sekarang,” Bu Ratya membuka daftar absen. “Ibu bagi
kelompoknya secara acak, perempuan dan laki-laki akan digabung.”
Terdengar
keluhan dari sebagian besar murid di kelas.
Bu
Ratya mengangkat sebelah tangan dan seperti sulap, semua murid terdiam. “Ibu
tidak peduli apa komentar kalian,” ujar Bu Ratya tegas. “Ini tugas, ibu hanya
ingin membuat kalian lebih mengenal satu sama lain. Lagipula jumlahnya pas, dua
puluh perempuan dan dua puluh laki-laki.”
Murid-murid
hanya mengangguk pasrah.
“Baiklah,”
Bu Ratya mulai membaca daftar absen. “Onia dengan Chandra, Tirta dengan Runa, Cici
dengan Farid, Zia dengan Sayid, Bintang dengan Vanya, Puput dengan Hafidz....”
Bu
Ratya terus menyebut nama murid-murid tapi beliau belum juga menyebut namaku.
“Terakhir,”
Bu Ratya menghela nafas. “Giena dengan Danny.”
Aku
membelalak. Danny? Sungguhan, nih?
Terdengar
suara cekikikan dari sudut kiri belakang. Aku menoleh ke belakang dan melihat
ketiga teman Danny sedang menertawainya. Danny memasang raut wajah sebal. Ah,
aku tahu apa yang membuatnya begitu.
“Tolong
bergabung dengan anggota kelompoknya,” ujar Bu Ratya.
Baru
saja aku mengambil pensil dan hendak berdiri, Danny sudah duduk di kursi
sebelahku. Dia berkata dengan nada dingin, “Kalau disuruh, nanti kamu yang
ambil bukunya dan kamu yang isi duluan.”
Aku
mengangkat alis lalu mengangguk pelan.
“Perwakilan
dari tiap kelompok, ambil satu buku yang ada di sini!” seru Bu Ratya.
Aku
beranjak dari kursi lalu mengambil salah satu buku yang tersedia di atas meja
guru. Hanya sebuah buku tulis biasa, sampulnya berwarna biru pastel. Polos.
Tidak ada gambar apa pun. Kurasa Bu Ratya mengerti bahwa warna biru adalah
warna netral bagi laki-laki dan perempuan.
“Baik!”
Bu Ratya menepuk tangannya. “Ibu akan berikan temanya sekarang!” Bu Ratya
menunduk lalu kembali berseru. “Temanya adalah ‘orang yang disuka’!”
Sebagian
besar anak membelalak. Kelas mulai gaduh.
“Tenang,
anak-anak!” seru Bu Ratya. “Tentu saja ibu tidak akan memaksa kalian, nah,
begini, temanya tetap ‘orang yang disuka’, hanya saja kalian tidak perlu
menyebutkan nama orang tersebut. Bagaimana?”
“Aku
tidak mengerti, bu!” Vanya mengangkat tangannya.
“Begini,”
Bu Ratya berdeham. “Misalnya, si A menyukai si B, misalnya si B menyapa si A di
pagi hari, si A bisa menulis di buku hariannya ‘hari ini dia menyapaku, aku
senang sekali’. Nah, seperti itu! Kalian hanya perlu menulis ‘dia’ dan bukan
nama aslinya, bagaimana?”
Sebagian
besar murid mengangguk. Begitu pula aku.
“Baiklah,
kalau begitu kalian bisa mulai dari hari ini,” Bu Ratya tersenyum. “Perempuan
yang harus mengisi buku hariannya terlebih dulu.”
Aku
mengangkat alis. Kebetulan sekali, perintah Bu Ratya dan Danny sama.
“Baiklah,
kita akan memulai pelajaran hari ini.”
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar